Sumatera Barat merupakan daerah yang kaya akan budaya, tradisi, serta kearifan lokal, termasuk dalam bidang pertanian.
Kondisi alam yang subur menjadikan pertanian sebagai salah satu mata pencaharian utama masyarakat setempat.
Dalam praktik bertani, masyarakat telah mengembangkan berbagai alat pertanian tradisional yang disesuaikan dengan kondisi geografis dan kebutuhan agraris daerah.
Keunikan alat-alat tersebut tidak hanya mencerminkan kearifan lokal, tetapi juga merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan alam dan budaya setempat.
Beberapa alat pertanian bahkan tidak ditemukan di daerah lain di Indonesia karena perbedaan budaya, metode bercocok tanam, dan kondisi alam yang khas di Sumatera Barat.
Berikut ini adalah tiga alat pertanian sawah tradisional khas Sumatera Barat yang beberapa diantaranya masih digunakan oleh masyarakat hingga saat ini.
Baca Juga Berbagai Keunikan Tradisi Pesta Panen di Sumatera Barat
1. Luku Rajo
Luku Rajo adalah sejenis alat bajak tradisional yang digunakan untuk membajak sawah di daerah berbukit atau berundak seperti yang banyak terdapat di Sumatera Barat.
Alat ini dinamai “rajo” (raja) karena dianggap sebagai alat pembuka lahan paling penting sebelum musim tanam dimulai.
Salah satu yang menjadi pembeda Luku Rajo dari bajak di daerah lain adalah bentuknya yang ramping, ringan, dan dapat dipasang pada kerbau yang memiliki daya tarik khas.
Bahkan beberapa Luku Rajo sering dihias dengan ukiran khas Minangkabau, menunjukkan bahwa alat ini tidak hanya fungsional tetapi juga memiliki nilai estetika dan budaya tinggi.
Walaupun sekarang sudah tersedia mesin bajak modern, akan tetapi luku rajo tetap menjadi salah satu peralatan pertanian tradisional yang tak tergantikan di mata masyarakat.

2. Alu Jo Lasuang (Alu dan Lesung Minang)
Meskipun alu dan lesung dikenal di banyak daerah, di Sumatera Barat bentuk dan penggunaannya cukup berbeda.
Alu dan lesung khas Minang digunakan tidak hanya untuk menumbuk padi, tetapi juga sebagai sarana ritual budaya, seperti dalam tradisi “Bakaua” yaitu menumbuk padi bersama-sama.
Lesung Minang biasanya panjang dan bisa digunakan oleh 4–6 orang secara bersamaan, terbuat dari kayu juga atau bisa juga terbuat dari batu.
Sementara alu-nya biasanya terbuat dari jenis kayu sauyan (surian) atau kayu dadak yang memiliki katahanan yang lebih lama daripada jenis kayu lainnya.
Nada tumbukan dari lesung Minang bahkan bisa dimainkan dengan irama tertentu sehingga menyerupai alat musik tradisional.
Sampai sekarang alat tradisional ini masih tetap digunakan di beberapa daerah dan juga menjadi bagian tradisi.

3. Tongkang
Tongkang adalah salah satu alat pertanian tradisional yang berasal dari Sumatra Barat dan digunakan oleh masyarakat Minang, khususnya di daerah pedesaan.
Alat ini berfungsi sebagai wadah atau alat angkut hasil panen seperti padi dari sawah menuju tempat penjemuran atau lumbung.
Selain itu, tongkang juga digunakan untuk menampung sementara hasil panen saat masa panen raya sebelum diangkut secara massal.
Terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu, rotan, atau anyaman daun rumbia, tongkang dirancang agar ringan namun kuat.
Sehingga mudah dibawa atau ditarik oleh manusia maupun binatang seperti kerbau atau sapi.
Bentuknya menyerupai keranjang besar atau wadah panjang yang disesuaikan dengan kondisi sawah.
Tongkang merupakan bagian dari sistem pertanian tradisional yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat Minangkabau dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Alat ini biasanya digunakan bersama alat tradisional lain seperti ani-ani untuk memotong padi dan lesung untuk menumbuk padi.
Meskipun istilah “tongkang” di daerah lain bisa merujuk pada kapal pengangkut barang di sungai, dalam konteks ini tongkang lebih kepada alat membantu membawa hasil tani.
Keberadaan alat pertanian tradisional seperti Luku Rajo, Alu jo Lasuang, dan Tongkang mencerminkan kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat Sumatera Barat.
Alat-alat yang dibuat biasanya menggunakan bahan dari alam sehingga dapat dikategorikan dalam pengelolaan pertanian berkelanjutan.
Ketiga alat tersebut tidak hanya berfungsi secara praktis dalam kegiatan bertani, tetapi juga menjadi simbol identitas budaya Minangkabau yang melekat erat di kehidupan sehari-hari.
Ditengah kemajuan teknologi pertanian modern, warisan ini tetap dipertahankan sebagai salah satu bentuk bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur.
Editor: Nanda Bismar