Kosakata Keseharian biasa digunakan oleh masyarakat dalam satu komunitas agar lebih mudah berkomukasi.
Dibalik Bahasa Minang yang digunakan secara luas, tetap saja terdapat ragam dialek dan kosakata unik di tiap kota dan kabupaten, termasuk Pariaman.
Bukan hanya dikenal karena budaya Hoyak Tabuiknya atau pesona Pantai Gandoriah, tetapi juga karena logat dan kosakata lokalnya yang sangat khas.
Jadi tidak heran, seseorang yang berasal dari Pariaman sering kali bisa dikenali hanya dari cara bicaranya.
Dalam percakapan sehari-hari, terdapat banyak kosakata yang berbeda dan telah menjadi identitas linguistik tersendiri.
Berikut adalah 5 kosakata keseharian yang identik dengan orang Pariaman, yang sering digunakan dan mudah dikenali oleh masyarakat dari daerah lainnya.
1. We-e
Kosakata pertama yang sangat mencolok dan sering terdengar dalam percakapan warga Pariaman adalah “we-e”.
Kata ini merujuk pada “dia” atau “mereka” dalam bahasa Indonesia.
Berbeda dengan bahasa Minang umum yang mungkin menggunakan “inyo” atau “urang tu”, di Pariaman “we-e” jauh lebih lazim dipakai dalam obrolan informal.
Contoh kalimat:
We-e pai jalan-jalan ka Pulau Angso Duo.
(Dia atau mereka pergi jalan-jalan ke Pulau Angso Duo.)
2. E atau Je
Berikutnya ada kosakata “e” yang juga sering digunakan sebagai pengganti kata “saja” atau “lah”.
Dalam beberapa konteks, “e” juga bisa bermakna “dia” sebagai bentuk pendek dari “we-e”.
Menariknya, di Pariaman, “e” juga memiliki kembarannya, yaitu “je”, yang bermakna serupa dan digunakan tergantung konteks serta intonasi kalimat.
Contoh kalimat:
Makan nasi sala e lah.
(Makan nasi sala saja lah.)E lah pernah ka Piaman mah.
(Dia sudah pernah ke Pariaman.)
3. Nyeh
Kata “nyeh” adalah bentuk lokal dari “nyoh” atau “nyo” dalam bahasa Minang umumnya.
Fungsinya adalah sebagai penekanan kata “cuma” atau “hanya” dalam konteks pembicaraan sehari-hari.
Penggunaan “nyeh” sangat umum, terutama saat menyampaikan rasa heran atau kecewa karena jumlah atau hasil yang sedikit.
Contoh kalimat:
Iko e nyeh? Senek ngaik pensi e.
(Cuma ini aja? Sedikit sekali pensinya.)
Kata “nyeh” menjadi salah satu kosakata yang membuat logat Pariaman terdengar ekspresif dan sedikit dramatis, namun tetap menarik untuk didengar.
Baca Juga Discover Mentawai: Learn Basic Mentawai Phrases for Your Next Trip
4. Wayoik atau Owaik
Dalam situasi tertentu, orang Pariaman juga sering menggunakan kata seru khas seperti “wayoik” atau “owaik”.
Dimana sejatinya adalah bentuk eksklamatif untuk menyatakan kekaguman, keterkejutan, atau rasa kagum yang luar biasa.
Dalam bahasa Minang umumnya, kata ini setara dengan “ondeh mandeh” atau “aduhai”.
Contoh kalimatnya sebagai berikut:
Wayoik! Ancak ngaik sulaman Nareh ko yeh.
(Wah! Bagus sekali sulaman Nareh ini ya)
Dengan penggunaan kata ini, percakapan sehari-hari menjadi lebih hidup dan menggambarkan emosi secara ekspresif.
Tak heran apabila bertemu dengan seseorang yang menggunakan kata “wayoik”, maka mungkin saja berasal dari Parimana.
5. Huruf “R” Jadi “Gh”
Ciri linguistik lainnya yang sangat menonjol dari bahasa sehari-hari masyarakat Pariaman adalah penggantian huruf “R” menjadi bunyi “gh” dalam pelafalan.
Misalnya, “Pariaman” akan diucapkan menjadi “Piaman”, atau dalam beberapa kasus kata seperti “goreng” diucapkan menjadi “gogheang”.
Contoh penggunaan:
Kambia (karambia): Kelapa
Gogheang pisang (goreng pisang): Pisang goreng
Fenomena diatas bukan sekadar pelesetan atau kesalahan ucapan, melainkan bagian dari sistem fonetik alami yang berkembang di wilayah Pariaman dan sekitarnya.
Masyarakat dari luar daerah langsung bisa mengenali seseorang berasal dari Pariaman hanya dari cara mereka melafalkan kata-kata tersebut.
Bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga merupakan cermin budaya dan identitas suatu daerah.
Kosakata di atas mungkin terdengar lucu atau unik bagi orang luar, tetapi bagi orang Pariaman adalah cara mereka berkomunikasi dengan sesame.
Sebagai bentuk ekspresi pikiran, perasaan, dan cerita kehidupan sehari-hari dengan warna lokal yang kuat.
Maka, jika kamu bertemu dengan seseorang yang mengatakan “We-e pai bali gogheang pisang di Piaman”, atau kata “Wayoik”.
Bisa dipastikan seseorang tersebut bukan hanya sedang lapar, bisa jadi juga sedang menyampaikan identitasnya sebagai orang Pariaman dengan bangga.
Editor: Nanda Bismar