Sejak dahulu, Sumatra Barat terkenal dengan sastra lisan dan kemudian diolah menjadi bentuk kesenian daerah.
Sastra lisan adalah bentuk ekspresi budaya yang diwariskan secara turun-temurun melalui cerita, nyanyian, dan ritual.
Dari sekian banyaknya sastra lisan di Sumatra Barat, terdapat sembilan diantaranya yang terkenal yaitu Rantak Kudo, Salawat Dulang, Basiang Padi, Simalin, Baikayaik, Bagurau, Batintin, Bakobar, dan Iriak Onjai.
Penasaran dengan berbagai jenis sastra lisan tersebut? berikut adalah ulasan menariknya dari West Sumatera Barat 360,
1. Rantak Kudo
Rantak Kudo adalah sastra lisan khas Minangkabau yang berkembang di Lubuak Gadang, Rao Utara, dan Lansek Kadok, Rao Selatan, Pasaman.
Tradisi ini terdiri dari berpantun bebas yang diiringi oleh suara rebana dan saluang.
Awalnya, Rantak Kudo bertujuan sebagai sarana mencari jodoh bagi para pelantunnya.
Namun, sejak ditampilkan kembali pada tahun 2001 setelah absen sejak 1974, tradisi ini lebih difokuskan sebagai hiburan.
Di Lansek Kadok, tradisi Rantak Kudo terancam punah karena umumnya hanya dikenal oleh orang yang berusia di atas 30 tahun.
Asal mula Rantak Kudo dipercaya berasal dari perselisihan antar nagari di Minangkabau.
Konon dahulunya setiap nagari dipimpin oleh seorang raja atau penghulu.
Dalam salah satu perselisihan disebutkan kematian seorang raja saat berburu, karena jejaknya ditikam oleh raja lain dengan keris sakti.
Kematian sang raja membuat istrinya meratapi kepergiannya, lalu ratapan istrinya yang berupa pantun diiringi oleh suara hentakan kuda (rantak kudo), menjadi awal mula tradisi ini.
Rantak Kudo dimainkan oleh setidaknya dua orang tukang dendang, satu orang laki-laki dan satu perempuan.
Pertunjukan Rantak Kudo dimulai dengan pembukaan, dilanjutkan dengan permohonan maaf dan permintaan izin kepada ninik mamak.
Pada bagian inti acara, pantun diawali oleh tukang dendang perempuan dan dibalas oleh tukang dendang laki-laki.
Rantak Kudo dianggap sebagai tradisi yang beradab, sehingga biasanya dipertunjukkan di rumah-rumah penduduk atau rumah gadang, bukan di lapangan terbuka.
Pertunjukan ini tidak digelar pada acara perkawinan, melainkan pada acara-acara adat seperti pengangkatan raja atau penghulu.
Setiap nagari juga merasa bangga jika dapat menampilkan Rantak Kudo dalam berbagai kesempatan.
Pertunjukan ini dimulai setelah Isya, sekitar pukul 9 malam, dan berlangsung hingga sebelum Subuh, sekitar pukul 4 pagi.
2. Salawat Dulang
Salawat Dulang, juga dikenal sebagai Salawat Talam, yang merupakan salah satu bentuk sastra lisan Minangkabau bernuansa Islam.
Tradisi ini melibatkan dua orang yang membacakan teks hafalan sambil menabuh dulang, yaitu nampan kuningan dengan diameter 65 cm.
Perbedaan penamaan antara Salawat Dulang dan Salawat Talam disebabkan oleh perbedaan dialek; dalam dialek Payakumbuh dan Pariaman, kata dulang disebut talam.
Di Payakumbuh, khususnya di daerah Koto Panjang, terdapat kelompok salawat yang terdiri dari tiga orang dalam satu tim.
Di Pariaman, grup Salawat Talam dapat ditemukan di Toboh dan Kampung Dalam.
Asal-usul Salawat Dulang berawal dari banyaknya ulama Minang yang belajar agama di Aceh, salah satunya Syekh Burhanuddin.
Setelah kembali ke tanah Minangkabau dan menetap di Pariaman, para ulama menyebarkan ajaran Islam ke seluruh Minangkabau.
Saat berdakwah, para ulama mengadaptasi kesenian rebana dari Aceh dengan menggunakan dulang sebagai alat musik sambil mendendangkan syair-syair dakwah.
Dalam pertunjukan Salawat Dulang, dua pendendang duduk bersisian dan menabuh dulang secara bersamaan.
Mereka bisa mendendangkan syair secara serempak atau saling menyambung larik.
Pendendang umumnya adalah laki-laki, tetapi sekarang juga ada pendendang perempuan walaupun belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat Minangkabau.
Pertunjukan Salawat Dulang bersifat interaktif, sering kali melibatkan tanya jawab, saling serang, dan saling mempertahankan argumen.
Sehingga pendendang kadang dijuluki dengan nama-nama senjata seperti peluru kendali dan gas beracun.
Pembacaan teks hafalan dalam Salawat Dulang biasanya berdurasi antara 25 hingga 40 menit, berisi tafsiran dari ayat Alquran atau hadits yang telah ditulis sebelumnya.
Sesi pembacaan satu teks ini disebut salabuahan, satanggak, atau satunggak.
Pertunjukan Salawat Dulang biasanya digelar pada hari-hari besar umat Islam seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Pada acara lainnya seperti syukuran rumah baru dan khatam Alquran.
Lokasi penyelenggaraan Salawat Dulang biasanya adalah tempat yang dianggap terhormat dalam nilai-nilai masyarakat Minangkabau.
Seperti surau atau masjid, dan tempat yang dihormati apabila diadakan di rumah penduduk, biasanya di bagian kiri dari pintu masuk utama.
Baca Juga 5 Kesenian Tradisional Kabupaten Solok Selatan yang Hampir Punah
3. Basiang Padi
Basiang Padi adalah salah satu bentuk sastra lisan Minangkabau yang berasal dari Talawi, Sawahlunto.
Tradisi ini melibatkan kegiatan berbalas pantun yang dilakukan saat ibu-ibu sedang menyiangi padi di sawah.
Umumnya, aktivitas ini dilakukan secara gotong-royong dengan sistem arisan.
Awalnya, tujuan berbalas pantun ini adalah untuk menambah semangat dan mengurangi rasa lelah selama bekerja.
Pertukaran pantun akan berhenti sejenak saat waktu istirahat makan dan shalat tiba.
Acara Basiang Padi biasanya dimulai pukul 09.00 WIB pagi dan berlangsung hingga pukul 17.00 WIB.
Pantun-pantun dalam Basiang Padi seringkali berisi sindiran, ungkapan perasaan, cerita keberuntungan, hingga terkadang melibatkan orang yang kebetulan lewat sebagai bahan pantun.
Pantun-pantun ini mulai dilantunkan saat ibu-ibu tiba di pematang sawah, sebelum mereka mulai menyiangi padi.
Mereka terus berpantun sambil bekerja hingga waktu makan siang dan shalat Zuhur tiba.
Setelah itu, mereka kembali ke sawah dengan pantun-pantun yang kembali mengalir hingga sore hari.
Upaya pemerintah untuk mempertahankan tradisi ini pernah dilakukan dengan menampilkannya di Pekan Budaya Sumatera Barat.
Namun, minat terhadap sastra lisan ini sangat minim, sehingga pertunjukan tersebut tidak bertahan lama.
Untuk tujuan dokumentasi dan inventarisir, Basiang Padi pernah dipentaskan di gedung atau aula tanpa dihadiri penonton.
Saat ini, tradisi ini sudah sangat jarang ditemukan di masyarakat baik di Talawi maupun daerah lainnya.
4. Simalin
Simalin adalah salah satu bentuk sastra lisan Minangkabau yang berasal dari Nagari Tarantang, Harau.
Sastra lisan ini melibatkan pembacaan Kaba Malin Deman dengan iringan ketukan korek api, mirip dengan tradisi Sijobang.
Namun, yang membedakan Simalin dari Sijobang adalah tidak diperlukan pendendang khusus.
Siapa saja yang mampu membaca aksara Arab Melayu dapat mendendangkan bacaan ini.
Meskipun demikian, biasanya hanya para laki-laki yang terlibat dalam Simalin.
Simalin disampaikan dalam dialek Payakumbuh dan berfungsi sebagai hiburan.
Biasanya, Simalin dipentaskan untuk memeriahkan acara perkawinan atau sunatan dan acara adat lainnya.Â
Asal mula Simalin diyakini berasal dari seorang pendakwah Islam dari Agam yang menetap di Tarantang.
Untuk menarik minat masyarakat sekitar, ia membacakan Kaba Malin Deman.
Seiring waktu, minat masyarakat meningkat, dan Simalin kemudian dituliskan dalam aksara Arab Melayu.
Naskah ini kemudian dibacakan secara turun-temurun, sehingga penggiat Simalin haruslah orang yang melek aksara.
Dalam pertunjukan Simalin, terdapat beberapa judul lagu yang umum didendangkan, seperti lagu basamo, urang marontak maambiak rumbai, mudiak adia, adia putiah, dan sungai tolang.
Namun, lagu yang didendangkan juga dapat berupa pilihan penonton ataupun pendendang itu sendiri.
Sehingga pertunjukan tidak monoton karena lagu-lagu yang sama diulang-ulang.
Sejak sekitar tahun 1985, Simalin tidak pernah lagi dipertunjukkan secara formal, baik dalam festival, siaran radio, maupun televisi.
Baca Juga Berbalas Pantun Pada Tradisi Batombe Nagari Abai
5. Baikayaik
Baikayaik merupakan salah satu bentuk sastra lisan Minangkabau yang sering ditemukan di daerah Pariaman.
Sastra lisan ini berisi cerita tentang para nabi yang dinyanyikan dengan gaya prosa yang indah.
Baikayaik sangat erat kaitannya dengan Islam, dan biasanya dipertunjukkan pada acara-acara keagamaan seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad.
Selain itu, Baikayaik juga sering dipertunjukkan di rumah-rumah masyarakat, terutama pada acara-acara mandoa seperti selamatan, khitanan, aqiqah, atau saat ada musibah seperti kematian seseorang.
Pertunjukan Baikayaik disertai dengan bacaan yang khusyuk dan penuh makna, menambah kekhidmatan acara.
Pertunjukan Baikayaik biasanya dilakukan secara bergantian antara pendendang, tanpa diiringi instrumen musik atau bunyi-bunyian lainnya.
Hal ini menekankan pada keaslian sastra lisan ini, yang hanya terdiri dari dendangan lisan yang memukau.
Meskipun sederhana dalam penyajiannya, Baikayaik memiliki kekuatan untuk menyentuh hati pendengarnya dan memberikan makna yang mendalam.
6. Bagurau
Bagurau, adalah sastra lisan yang merakyat di hampir seluruh wilayah Minangkabau.
Sastra lisan ini berupa pertunjukan pantun-pantun lepas yang diiringi oleh alunan saluang.
Seperti namanya, tujuan dari bagurau adalah untuk bercanda atau berkelakar dengan beragam tema, mulai dari keluh kesah, kedukaan, sindiran, ajakan, hingga rayuan.
Dalam bagurau, irama yang tercipta disebut sebagai lagu, yang kebanyakan bersifat sentimental.
Namun, secara umum terdapat dua jenis lagu dalam bagurau, yaitu ratok di daerah Solok dan sekitarnya, serta singgalang di daerah Agam dan sekitarnya.
Dalam pertunjukkannya, bagurau dilakukan oleh minimal dua orang dimana satu pemain saluang dan satu atau dua orang pendendang.
Para pendendang menciptakan pantun secara spontan dalam pertunjukkan ini.
Selain sebagai pertunjukkan formal, bagurau juga sering dilakukan oleh masyarakat dalam suasana santai.
Mereka berdendang secara bergantian, kadang-kadang dengan diiringi saluang, kadang tidak sama sekali.
Namun, budaya bagurau mulai jarang ditemui di Minangkabau saat ini.
Dalam pertunjukkannya, terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan, seperti antara penonton dan penampil.
Kehadiran penonton sangat mempengaruhi jalannya pertunjukkan. Tanpa penonton, pertunjukkan bagurau bisa tidak berjalan dengan baik.
Selain itu, pemusik dan pendendang juga memegang peran penting dalam pertunjukkan bagurau.
Penampil, atau yang sering disebut sebagai pedendang, merupakan sosok kunci dalam pertunjukkan bagurau.
Mereka biasanya terdiri dari empat orang atau lebih, yang saling mendukung untuk menampilkan pertunjukkan yang memukau.
Penampil harus memiliki kesiapan mental dan fisik yang baik, mengingat pertunjukkan berlangsung dari selesai Isya sampai menjelang Subuh.
7. Batintin
Batintin, adalah sastra lisan Minangkabau yang khas dari tiga desa di Tanah Datar yaitu Rao Rao, Kumango, dan Tabek.
Sastra lisan ini mengambil bentuk berbalas pantun, namun setiap desa memiliki sebutan yang berbeda batintin di Kumango, babondai di Rao-Rao, dan lagu gadang di Tabek.
Walaupun pada tahun 1970-an tradisi ini tidak lagi ditemukan di ketiga desa tersebut, batintin berubah menjadi pertunjukkan yang ditampilkan dalam upacara pernikahan yang belakangan juga jarang ditemui.
Batintin awalnya merupakan kegiatan berbalas pantun oleh para pemuda desa yang melakukan aktivitas ronda malam.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengisi waktu dan menghilangkan kantuk.
Dimulai dari pos ronda, batintin berlangsung saat para pemuda mengelilingi desa sambil menjaga keamanan hingga kembali ke pos.
Terkadang, batintin ditujukan kepada gadis idaman pemuda saat mereka melewati rumahnya.
Jika beruntung, gadis tersebut akan membalas pantun dari beranda rumahnya.
Pertunjukkan batintin melibatkan dua kelompok, masing-masing terdiri dari 5 hingga 20 orang dengan rentang usia 17 hingga 35 tahun.
Kedua kelompok berhadapan satu sama lain dengan seluruh tubuh tertutup sarung, kecuali mata, untuk menjaga kerahasiaan identitas.
Pertunjukkan dilakukan di halaman rumah atau lapangan terbuka tanpa penerangan tambahan, hanya mengandalkan cahaya bulan jika ada.
Pertunjukkan dimulai dengan semua pemain berdiri, dimana setiap kelompok memiliki janang yang bertugas membuka pantun.
Setelah janang memulai, seluruh pemain berjalan melingkar dan bergantian membalas pantun.
Setiap pemain meletakkan tangan di bahu pemain yang bersebelahan sambil bergerak maju dan mundur mengikuti irama pantun.
8. Bakobar
Bakobar adalah sastra lisan khas Minangkabau yang tersebar luas di Kabupaten Pasaman.
Mengambil bentuk pembacaan kaba yang didendangkan sambil diiringi alat musik rebana berukuran 20 cm.
Fungsinya bergantung pada kaba yang dibacakan, bisa sebagai hiburan atau pengajaran.
Jika sebagai pengajaran, biasanya penontonnya adalah para pemuda. Tukang bakobar hampir selalu laki-laki, dan belum terdapat catatan tukang bakobar perempuan.
Pertunjukkan bakobar biasanya diadakan untuk meramaikan acara-acara seperti pernikahan, upacara turun mandi, sunatan dan lainnya.
Di tengah kampung, sering kali dibuat gelanggang khusus untuk bakobar, dengan disediakan kasur sebagai tempat duduk para penampil.
Pertunjukkan dimulai setelah isya,dimulai dengan doa dan minum air dingin, dan berlanjut hingga subuh.
Pada waktu istirahat, biasanya tukang bakobar berbalas pantun dengan penonton.
Dalam pertunjukkan, tukang bakobar dibantu oleh sekitar 10 orang janang yang memperkuat suara tukang bakobar, terutama dalam menekankan akhir suku kata di setiap kalimat.
Mereka juga menguji kemampuan berbalas pantun tukang bakobar selama istirahat.
Terdapat kepercayaan dalam bakobar akan pentingnya pamaga diri, yang merupakan perlindungan dari serangan magis.
Hal ini bertujuan agar tukang bakobar terhindar dari gangguan suara, seperti ditungkek, yang diyakini bisa membuat lidah tukang bakobar terganggu sehingga kehilangan suaranya.
Gangguan semacam itu diyakini biasanya dikirim oleh orang yang tidak dikenal.
9. Iriak Onjai
Iriak Onjai, bentuk sastra lisan khas daerah Rao, Pasaman Timur, tepatnya di Kota Panjang dan Bangkat.
Sebuah tradisi berupa pertukaran pantun yang dilakukan oleh sekelompok laki-laki ketika musim panen padi tiba.
Tradisi ini dilaksanakan di tengah sawah, yang sesuai dengan namanya yang berarti mengirik di tempat.
Pelaksanaannya melibatkan sejumlah laki-laki yang berbalas pantun sambil melakukan irik atau memisahkan padi dari tangkainya di Lampok.
Sambil melakukan irik, para laki-laki ini berpantun sambil diiringi oleh musik rebana dengan menggunakan bahasa Minangkabau, khususnya dialek Rao.
Sedangkan kaum perempuan bertugas mengumpulkan padi dan menampinya, mereka tidak terlibat dalam berbalas pantun.
Tradisi ini, selain sebagai bentuk hiburan, juga menjadi kesempatan bagi para laki-laki yang belum menikah untuk mencari pasangan hidup.
Pantun-pantun yang mereka lantunkan sering ditujukan kepada wanita yang mereka sukai, dengan harapan bisa membangun hubungan lebih lanjut.
Namun, pada masa kini, tradisi sastra lisan Iriak Onjai ini sudah jarang ditampilkan oleh masyarakatnya.
Hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman dan perubahan generasi.
Selain itu, kehilangan minat terhadap tradisi ini juga karena banyaknya masyarakat yang tidak lagi bekerja di sawah.
Sehingga, meskipun menjadi bagian penting dari sejarah dan budaya daerah, Iriak Onjai mulai meredup dan terancam punah seiring berjalannya waktu dan perubahan sosial.
Sastra lisan tidak hanya sekadar cerita atau pertunjukan, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai, sejarah, dan identitas suatu masyarakat.
Oleh karena itu, menjaga dan melestarikan sastra lisan merupakan tanggung jawab bersama, agar kekayaan budaya ini tetap ada dan terus diwariskan kepada generasi berikutnya.
Editor: Nanda Bismar