Tradisi Badantam merupakan salah satu tradisi yang unik dalam pelaksanaan acara pernikahan di Pariaman.
Bukan sekadar rangkaian seremoni biasa, melainkan bentuk nyata dari gotong royong dan solidaritas sosial yang mengakar kuat di tengah Masyarakat.
Bagi masyarakat setempat, Badantam adalah wujud penghormatan terhadap nilai kebersamaan, dan tanggung jawab dalam menyukseskan alek (pesta pernikahan).
Penasaran dengan ulasan selengkapnya? Berikut West Sumatra 360 menyajikan informasinya untuk kamu.
Apa Itu Tradisi Badantam?
Badantam adalah tradisi penggalangan dana yang dilakukan pada malam kedua dari rangkaian acara pernikahan.
Biasanya, malam itu dimanfaatkan oleh keluarga mempelai wanita (anak daro) untuk mengundang keluarga besar, mamak (paman), dan masyarakat sekitar.
Kemudian, satu per satu hadirin akan menyumbangkan dana secara terbuka dengan nama serta jumlah uang yang diberikan akan diumumkan kepada seluruh hadirin.
Tradisi ini tak hanya dilakukan sebagai bentuk sumbangan, tetapi juga sebagai kompetisi sosial yang sehat.
Semakin besar nominal yang diberikan, semakin tinggi pula penghargaan sosial yang diterima.
Walaupun begitu, tidak ada paksaan atau keharusan jumlah tertentu yang terpenting adalah niat untuk membantu.

Asal Usul dan Nilai Sejarah Badantam
Meski tidak ada catatan tertulis resmi mengenai kapan tepatnya Badantam mulai dilakukan, masyarakat lokal menyebut tradisi ini sudah ada sejak tahun 1945.
Awalnya, tradisi Badantam muncul karena beratnya beban biaya dalam pelaksanaan perkawinan, khususnya dalam sistem bajapuik sangat berat.
Dalam sistem ini, mempelai laki-laki seolah “dibeli” melalui uang japuik, yang nilainya tergantung pada status sosialnya.
Ketika salah satu keluarga hendak menggelar pernikahan namun terkendala biaya, masyarakat kampung pun sepakat untuk saling membantu secara bergotong royong.
Dari sinilah muncul ide “dantam di ateh namo”, yaitu mengumpulkan dana dari masyarakat sekitar untuk meringankan beban biaya pesta.
Baca Juga Rangkaian Prosesi Pernikahan Adat Minangkabau
Tradisi Badantam dalam Rangkaian Alek Perkawinan
Badantam dilakukan setelah prosesi resepsi pada malam hari, biasanya mulai pukul 20.00 WIB, sebelum anak daro diantar ke rumah marapulai.
Kegiatan diawali dengan bakumpua dan barundiang (berkumpul dan bermusyawarah) di rumah sipangka (pemilik hajat).
Setelah itu, dilakukan penyerahan dana kepada keluarga yang mengadakan acara dimana dana tersebut dikumpulkan dari masyarakat yang hadir dengan sukarela.
Setelah itu, dilakukan makan bersama sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih atas partisipasi masyarakat.

Tata cara pelaksanaan Badantam meliputi beberapa tahapan penting:
Bakumpua dan Barundiang di Rumah Sipangka
Semua keluarga besar dan tokoh masyarakat berkumpul untuk berdiskusi dan mempersiapkan pelaksanaan badantam.
Penyerahan Dana kepada Sipangka
Setiap tamu menyampaikan bantuannya, baik berupa uang tunai maupun bentuk lainnya, yang kemudian dicatat dan diumumkan.
Kesepakatan Mamak Rumah dan Sumando
Mamak (paman dari pihak ibu) dan sumando (mantu laki-laki) menyepakati bagaimana pengelolaan dana akan dilakukan agar bermanfaat.
Makan Basamo
Sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih, seluruh peserta badantam makan bersama dalam suasana kekeluargaan.
Panutuik
Setelah prosesi selesai, acara ditutup dengan doa bersama dan sambutan singkat dari keluarga penyelenggara.
Variasi Istilah Badantam di Daerah Lain
Tradisi Badantam dikenal pula dengan banyak nama berbeda di berbagai wilayah di Sumatera Barat.
Misalnya, di beberapa wilayah disebut dengan Badoncek, Baretong, atau Pasirihan.
Walaupun memiliki istilah penamaan yang berbeda, esensinya tetap sama yaitu meringankan beban keluarga yang menggelar pesta melalui solidaritas sosial.
Badantam Lebih dari Sekadar Tradisi
Dibalik praktik Badantam yang terdengar sangat ‘materi’, sesungguhnya terkandung nilai-nilai luhur khas Minangkabau.
Prinsip gotong royong, rasa malu, harga diri, dan solidaritas menjadi fondasi utama dan menyebabkan tradisi ini terus bertahan hingga sekarang.
Memberi bantuan bukan hanya soal nominal, tetapi juga soal menjaga kehormatan dan wibawa keluarga, terutama dalam konteks adat.
Selain itu, tradisi Badantam juga memutus anggapan bahwa sistem bajapuik semata-mata soal “membeli” laki-laki.
Sebaliknya, adalah cermin dari sistem sosial matrilineal, dimana perempuan dan keluarganya memegang peran penting dalam proses pernikahan.
Di tengah modernisasi yang kian masif, tradisi ini tetap lestari karena menjadi ruang ekspresi solidaritas, menjaga kehormatan keluarga, dan mempererat hubungan.
Tidak hanya relevan sebagai bagian dari adat, Badantam juga bisa menjadi inspirasi praktik gotong royong modern dalam kehidupan bermasyarakat hari ini.
Jika suatu hari kamu berkesempatan menghadiri alek di Pariaman, tidak menutup kemungkinan kamu akan ikut menyaksikan tradisi ini secara langsung.
Editor: Nanda Bismar