Lukah Gilo adalah kesenian tradisional yang berasal dari zaman nenek moyang orang Minang dan diyakini telah eksis sejak masa Kerajaan Pagaruyung.
Tidak hanya sebagai bentuk kesenian dan budaya setempat, tetapi juga sarat dengan nilai magis yang masih dipercaya oleh Masyarakat hingga saat ini.
Bukan hanya sekadar hiburan, namun merupakan bentuk interaksi antara manusia dan alam gaib, penuh dengan pengaruh animisme dan dinamisme yang kental.
Asal-usul dan Makna di Balik Nama Lukah Gilo
Secara harfiah, “lukah” adalah alat penangkap ikan yang dibuat dari anyaman rotan atau bambu.
Sementara itu, “gilo” dalam bahasa Minang berarti “gila” yang berarti sebuah lukah yang seolah-olah hidup dan bertingkah liar seperti orang kesurupan.
Lukah ini dipercaya telah dirasuki oleh roh atau jin yang dipanggil oleh seorang pemimpin upacara, yang disebut Kulipah.
Dalam kepercayaan tradisional, roh inilah yang membuat lukah bergerak tidak terkendali dan sulit dijinakkan.

Peran Kulipah dan Prosesi Mistis di Dalamnya
Kulipah adalah sosok kunci dalam pertunjukan Lukah Gilo, Ia bukan hanya pemimpin ritual, tetapi juga mediator antara dunia manusia dan dunia roh.
Kemudian Kulipah akan membacakan mantra tertentu untuk “memanggil” roh agar masuk ke dalam lukah.
Prosesi awal biasanya dilakukan di malam hari dan diawali dengan pembakaran kemenyan, dupa, serta penyembelihan ayam sebagai bentuk persembahan.
Pakaian serba hitam menjadi identitas khas para pemain, semakin memperkuat nuansa mistis dalam pertunjukan ini.
Ketika lukah mulai “kerasukan”, beberapa pemuda akan berusaha memegang dan mengendalikan lukah tersebut.
Lukah akan melonjak, mengamuk, dan menyeret para pemain ke berbagai arah, sehingga tak jarang ada yang terlempar atau bahkan kesurupan.
Hal tersebut akibat tidak mampu mengendalikan energi lukah yang dianggap sedang “menggila”.
Pada momen inilah, penonton biasanya akan ikut bersorak, dengan teriakan seperti “pacik-an kapalonyo” (pegang kepalanya) atau “elo taruih” (tarik terus).
Baca Juga Bendera Marawa di Minangkabau: Simbol Budaya Penuh Makna
Perubahan Terjadi Seiring Masuknya Islam
Ketika Islam masuk ke Minangkabau, terutama di masa pergerakan kaum Paderi, tradisi Lukah Gilo mendapat penolakan keras.
Hal ini karena unsur magis dalam pertunjukan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Unsur pemanggilan roh dan darah persembahan dianggap sebagai praktik syirik dan dilarang dalam ajaran Islam.
Karena tekanan tersebut, banyak pertunjukan Lukah Gilo yang terhenti atau dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Namun, seiring waktu, masyarakat mulai mencari cara untuk mempertahankan tradisi tanpa melanggar nilai-nilai Islam.
Maka lahirlah versi baru dari Lukah Gilo, bukan lagi sebagai ritual pemanggilan roh, melainkan sebagai tarian sebagai sebuah seni pertunjukan budaya yang sarat makna.

Lukah Gilo sebagai Tari Tradisional
Dalam bentuk modern, Lukah Gilo ditampilkan sebagai pertunjukan tari yang tetap mempertahankan ciri khas gerakan liar dari lukah, namun tanpa pemanggilan roh.
Untuk memperkuat suasana, pertunjukan tarian diiringi dengan musik tradisional Minang seperti talempong, gandang, dan saluang.
Musik tidak hanya sebagai pengiring, tetapi juga sebagai penyatu gerakan antara lukah dan para penari.
Irama musik pun biasanya mengikuti tempo gerakan lukah, semakin cepat dan liar gerakannya, semakin cepat pula dentuman musiknya.
Menariknya, meski unsur magis telah dihapuskan, tidak sedikit penonton yang masih merasakan aura mistis saat menonton Lukah Gilo.
Hal ini karena interaksi antara pemain dan lukah tetap terlihat intens dan emosional.
Bahkan, pada beberapa pertunjukan, masih terdapat pemain yang kesurupan karena terbawa suasana.
Disinilah peran Kulipah tetap dibutuhkan, tidak hanya sebagai pemimpin tari, tetapi juga sebagai penjaga spiritualitas pertunjukan.
Atraksi Budaya yang Menghibur dan Memukau
Lukah Gilo saat ini kerap ditampilkan dalam acara festival budaya, atau helat kenagarian.
Pertunjukan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, baik lokal maupun wisatawan.
Tidak hanya menyuguhkan hiburan, Lukah Gilo juga mengingatkan kita akan kedalaman tradisi Minangkabau yang mampu bertahan lintas zaman.
Melihat bagaimana para pemain berjuang mengendalikan lukah yang menggila, penonton pun ikut larut dalam ketegangan dan keseruan.
Unsur musik, kostum, dan semangat para pemain membuat Lukah Gilo menjadi pertunjukan yang penuh energi dengan nilai budaya yang mendalam.

Warisan Budaya yang Tetap Hidup Hingga Sekarang
Meskipun kini tampil dalam wujud yang lebih “aman” dan islami, Lukah Gilo tetaplah warisan budaya yang tak ternilai.
Mencerminkan kreativitas, spiritualitas, dan keberanian orang Minang dalam menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan akar budaya.
Dengan terus melestarikannya, masyarakat Minangkabau menunjukkan bahwa tradisi Lukah Gilo bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan juga sebagai jati diri.
Editor: Nanda Bismar