Sapo-sapoan atau tasapo mungkin terdengar asing di telinga banyak orang, namun di Minangkabau istilah ini cukup populer.
Bahkan istilah tasapo juga banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahasa pergaulan dengan makna bercanda.
Namun ternyata, sapo-sapoan merupakan salah satu metode pengobatan alternatif masih dianut Masyarakat Minangkabau hingga saat ini.
Metode Pengobatan Sapo-sapoan kerap dilakukan untuk menyembuhkan seseorang yang diyakini terjadi karena diganggu oleh makhluk halus.
Dalam kepercayaan masyarakat lokal, seseorang mengalami demam bisa saja karena telah “menyinggung” penghuni alam lain secara tidak sadar.
Biasanya hal ini terjadi setelah seseorang bermain, menjelajah, atau berkunjung ke tempat baru seperti hutan, sungai, atau ladang.
Dengan tanpa meminta izin terlebih dahulu secara batiniah atau lisan kepada “penjaga” tempat tersebut.
Orang-orang menyebut kondisi ini disebut dengan istilah tasapo atau disapo, lalu bagaimana tradisi ini masih bertahan sampai sekarang? Berikut ulasan lengkapnya.

Gejala Orang yang Tasapo
Gejala yang muncul pada orang yang tasapo, umumnya mirip dengan gejala penyakit biasa, namun terdapat ciri yang membedakannya.
Awalnya, tubuh penderita akan mengalami demam panas dingin, saat malam tiba, biasanya penderita mengalami mimpi-mimpi yang aneh dan mengigau saat tidur.
Nafsu makannya menurun drastis dan tubuh terasa lemas walaupun tidak banyak beraktivitas.
Biasanya masyarakat tidak langsung membawa ke dokter, tetapi terlebih dahulu mencoba pengobatan tradisional, sapo-sapoan.
Menariknya, pengobatan ini tidak menggunakan alat medis atau obat kimia sama sekali.
Prosesnya sederhana dan bahan-bahannya pun mudah ditemukan di rumah.
Namun jangan salah, walaupun sederhana, prosesnya sarat makna, spiritualitas, dan filosofi budaya yang mengakar kuat.
Bahan-Bahan untuk Pengobatan Sapo-Sapoan
Untuk melakukan sapo-sapo, dibutuhkan tiga bahan utama:
- Kunyit, digunakan sebagai alat pendeteksi dan media penyerap energi negatif.
- Beras, disiapkan sebanyak sepinjit atau sekitar 7 butir, yang melambangkan jumlah ganjil dan dipercaya memiliki nilai spiritual.
- Air, sebagai media netralisasi yang akan membawa “penyakit” keluar dari tubuh.
Ketiga bahan tersebut menjadi inti dari proses sapo-sapo yang dilakukan oleh seorang ibu-ibu tua, mak bidan, yang terkenal ahli dalam bidangnya.

Proses Pengobatan Tradisional Sapo-Sapo
Langkah pertama, kunyit dipotong sekitar 1 cm lalu dibelah dua, kemudian potongan kunyit ini kemudian diletakkan di atas punggung tangan orang yang akan mengobati.
Pada tahapan ini, orang yang melakukan pengobatan akan mulai merapalkan semacam mantra berupa doa-doa.
Walaupun doanya tidak pernah diungkap secara gamblang, umumnya berupa bacaan syahadat, sholawat nabi dan doa perlindungan dari makhluk halus.
Setelah doa dibaca, kunyit dijatuhkan ke lantai dari atas punggung tangan, nah ini Adalah proses proses “diagnosa” dilakukan.
Jika kedua potongan kunyit jatuh dalam posisi telungkup, maka pasien hanya terkena demam biasa.
Tetapi jika salah satu telentang dan yang lainnya telungkup, bisa dipastikan bahwa pasien telah tasapo atau disapa oleh makhluk halus.
Setelah diagnosa ditentukan, kedua potongan kunyit tadi dimasukkan ke dalam gelas bersama dengan 7 butir beras, lalu ditambahkan air hingga setengah gelas.
Air tersebut kemudian diberikan kepada pasien untuk diminum satu teguk saja.
Sisanya digunakan untuk mengoles persendian pasien seperti siku, lutut, pergelangan tangan, dan belakang telinga.
Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk “penyegaran” tubuh dan simbol pembersihan dari pengaruh makhluk halus.
Baca Juga Badah Ayam: Tradisi Pengobatan Unik dari Minangkabau yang Masih Bertahan
Makna Tradisi di Balik Pengobatan Alternatif Sapo-Sapoan
Tradisi sapo-sapoan bukan hanya soal menyembuhkan demam, namun bisa jadi refleksi cara pandang orang Minang melihat hubungan alam dan manusia.
Alam dianggap sebagai ruang hidup bersama, bukan milik manusia semata, dimana terdapat penghuni lain yang tak kasat mata dan harus dihormati.
Maka sebelum masuk ke suatu tempat seperti hutan, sungai, atau membuka lahan baru, orang tua kita dulu selalu berpesan “Mintalah izin.”
Mengajarkan etika spiritual sejak dini tentang hidup berdampingan, dan tidak bisa sembarangan bersikap di tempat asing.
Apakah “Sapo-Sapo” Masih Relevan?
Banyak yang mungkin menganggap ini hanya mitos atau sugesti semata, namun tidak sedikit pula masyarakat di daerah yang masih mempercayai.
Tidak hanya itu, bahkan masih mempraktikkan sapo-sapoan hingga sekarang, terutama jika pengobatan medis modern tidak kunjung menyembuhkan.
Walaupun ilmu kedokteran tidak mengenal konsep “tasapo”, secara budaya, ritual ini bisa memberi efek psikologis yang positif bagi pasien dan keluarga.
Setidaknya, sapo-sapoan telah menjadi bagian dari identitas budaya Minangkabau, baik sebagai warisan leluhur maupun simbol harmonisasi antara manusia dan alam.
Editor: Nanda Bismar