Danau Maninjau merupakan sebuah danau vulkanik yang terletak di Sumatera Barat, tepatnya berada di daerah Maninjau, Kab Agam, Sumatera Barat atau sekitar 140 km dari Kota Padang.
Sebagai danau vulkanik, Maninjau terletak di dalam kaldera gunung berapi yang sudah tidak aktif dengan keindahan alamnya yang menakjubkan dan suasana yang tenang menjadikan Danau Maninjau sebagai salah satu tujuan wisata populer di Sumatera Barat.
Danau Maninjau menjadi danau kedua terluas di Sumatera Barat setelah Danau Singkarak dengan panjang sekitar 16 km dan lebar sekitar 7 km serta memiliki kedalaman sekitar 500 meter.
Pemandangan danau semakin menakjubkan dengan adanya bukit menjulang tinggi yang mengelilingi danau dan panorama dataran rendah subur yang menakjubkan.
Dengan keindahan yang dimilki, pengunjung dapat dengan bebas memilih berbagai spot untuk menikmati keindahan danau, salah satu yang paling favorit tentu saja pemandangan danau Maninjau dari atas kelok 44.
Namun dibalik semua keindahannya, ternyata masyarakat setempat memiliki cerita rakyat tersendiri mengenai asal usul nama Danau Maninjau.
Bagaimana kisahnya? berikut ulasan menariknya dari West Sumatra 360,
Legenda Bujang Sembilan Danau Maninjau
Cerita asal usul terjadinya danau Maninjau berawal dari Legenda Bujang Sembilan yang diceritakan turun temurun oleh masyarakat sekitar danau.
Legenda tersebut berawal dari satu perkampungan kecil di kaki Gunung Tinjau, Sumatera Barat.
Gunung yang terletak di Kabupaten Agam itu berdampingan dengan dua gunung lainnya, yaitu Gunung Merapi dan Gunung Singgalang.
Diceritakan bahwa Gunung Tinjau merupakan gunung berapi aktif yang sangat tinggi dengan kawah yang luas di puncaknya.
Konon di kaki Gunung Tinjau tinggallah sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan laki-laki dan seorang perempuan.
Dahulu sembilan anak laki-laki ini dikenal dengan panggilan Bujang Sembilan, mereka bernama Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan Kaciak, sedangkan saudara perempuan mereka bernama Siti Rasani, biasa dipanggil Sani.
Kukuban, sebagai anak sulung, mengambil tanggung jawab mengatur rumah tangga setelah orang tua mereka meninggal.
Selain itu, mereka juga memiliki hubungan keluarga dengan pemimpin kampung bernama Datuk Limbatang. Bujang Sembilan dan Siti Rasani adalah anak-anak yang rajin dan gigih dalam belajar.
Datuk Limbatang
Sebagai paman, Datuk Limbatang sering mengajari mereka tentang keterampilan pertanian dan memperkenalkan mereka pada adat-istiadat setempat.
Hal ini merupakan janji yang telah dibuat oleh Datuk Limbatang kepada kakak perempuannya, yang juga merupakan ibu dari sepuluh bersaudara tersebut.
Setiap kali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, istri dan putra Datuk Limbatang yang bernama Giran ikut serta.
Tak disangka, karena sering bertemu, timbul perasaan cinta antara Siti Rasani dan Giran, kisah percintaan kedua anak muda tersebut juga mendapat dukungan dan restu dari kedua belah pihak.
Hubungan mereka berjalan baik hingga pada perayaan panen raya, di mana Kukuban dan Giran terlibat dalam pertunjukan adu ketangkasan bermain silat.
Giran berhasil menangkis serangan dan secara tidak sengaja mematahkan kaki Kukuban, yang membuat si sulung merasa malu dan tersinggung.
Sejak insiden itu, Kukuban menyimpan dendam terhadap Giran, hingga suatu hari Datuk Limbatang datang untuk menyampaikan niat Giran untuk meminang Siti Rasani.
Namun, Kukuban dengan tegas menolak maksud baik tersebut karena masih memendam dendam terhadap Giran.
Ketidaksenangan Kukuban membuat Siti Rasani dan Giran merasa sedih, lalu mereka memutuskan untuk berbicara di tepi sungai untuk mencari solusi agar mereka bisa bersatu.
Namun, setelah diskusi yang panjang, mereka tidak berhasil menemukan jalan keluar dan akhirnya Siti Rasani memutuskan untuk pulang.
Ketika Siti Rasani hendak melangkah pergi, kakinya tersangkut tanaman berduri yang menyebabkan sarung yang dia kenakan robek hingga melukai sekitar pahanya.
Kesajalahpahaman Berujung Petaka
Tanpa ragu, Giran segera mencari tanaman obat untuk mengobati kaki kekasihnya yang terluka.
Namun, tiba-tiba Bujang Sembilan muncul dengan sekelompok warga dan dengan marah menuduh mereka melakukan sesuatu yang tidak baik.
Sidang adat diadakan untuk menentukan nasib pasangan tersebut, tetapi Bujang Sembilan terus menyalahkan mereka.
Baik pembelaan Siti Rasani maupun Giran tidak didengar hingga akhirnya hukuman pun dijatuhkan dengan alasan untuk melindungi kampung dari malapetaka.
Baca Juga Puncak Lawang, Destinasi Wisata dengan Keindahan Alam yang Luar Biasa
Setelah disepakati, hukuman yang dijatuhkan adalah kedua pasangan tersebut harus dibuang ke dalam kawan Gunung Tinjau.
Hari yang ditentukan pun datang, Siti Rasani dan Giran telah berada di mulut kawah gunung berapi, namun sebelum dibuang, Giran pun meminta kepada Tuhan bahwa jika memang mereka tidak bersalah maka Bujang Sembilan akan menerima kutukan.
Alangkah mengejutkan, ketika Siti Rasani dan Giran dibuang ke dalam kawah gunung, seketika Gunung Tinjau benar-benar meletus mengeluarkan lahar panasnya, Bujang Sembilan dan seluruh masyarakat setempat pun hilang seperti di telan bumi.
Belakangan ini bekas letusan gunung tersebut membentuk kawah besar yang terisi air dengan pemandangan bukit sekeliling seperti kawah gunung berapi yang disebut Danau Maninjau.
Konon katanya Bujang sembilan yang menerima kutukan berubah menjadi air dan makhluk air lainnya yang hidup di dalam danau tersebut.
Demikian lah cerita singkat mengenai asal mula Danau Maninjau, sangat menarik bukan?
Semoga cerita yang telah melegenda tersebut semakin menambah referensi budaya kamu.
Ceritakan kepada kami di kolom komentar jika kamu ingin mendengar hal lainnya mengenai Sumatera Barat ya!