Manggaro merupakan satu tradisi unik dalam menjaga tanaman padi dari hama burung dan masih eksis di Sumatera Barat hingga kini.
Terkenal dengan salah satu daerah penghasil beras yang berkualitas, jadi tidak heran terdapat lahan pertanian padi yang cukup luas.
Untuk semakin meningkatkan kualitas panen dan hasil pertanian, maka petani perlu untuk menjaga padi yang telah masak dari kawanan burung sebagai hama.
Lebih dari sekadar aktivitas rutin petani, tradisi Manggaro juga mencerminkan nilai kebersamaan, kreativitas, dan warisan budaya yang terus dijaga.
Seperti di Kota Solok, tradisi “Bapupuik Jo Basaluang di Gaduang Sawah” adalah salah satu bentuk Manggaro yang menghidupkan suasana di pondok sawah.
Apa Itu Tradisi Manggaro?
Manggaro merupakan kegiatan yang dilakukan petani saat padi matang susu (tabik) hingga menjelang panen.
Periode ini adalah waktu yang rawan karena gerombolan burung kerap menyerang bulir padi untuk mencari makanan.
Apabila tidak dijaga, petani bisa kehilangan sebagian besar hasil panennya, oleh karena itu, para petani menggunakan berbagai cara kreatif untuk menghalau burung.
Mulai dari bunyi-bunyian, tali oyak-oyak, hingga orang-orangan sawah yang semuanya bertujuan untuk menghalau kawanan burung.
Namun, tradisi Manggaro di Sumatra Barat bukan sekadar kegiatan mengusir burung, tradisi ini menjadi ajang keakraban antar petani di nagari setempat.
Suasana ceria di sawah tercipta berkat penggunaan alat-alat sederhana yang sering kali memiliki nilai seni.
Hal ini membuat Manggaro menjadi lebih dari sekadar tugas, tetapi juga warisan budaya yang patut dibanggakan.
Keunikan Tradisi“Bapupuik Jo Basaluang di Gaduang Sawah”
Di Kota Solok, tradisi ini mendapat sentuhan unik dengan penggunaan pupuik (alat tiup) yang terbuat dari batang padi.
Pupuik memiliki corong di bagian ujung yang dibuat dari daun kelapa, sehingga menyerupai alat musik tiup sederhana.
Ketika ditiup, bunyi yang dihasilkan tidak monoton, melainkan bertingkat dan berirama karena corong sesekali ditutup dengan telapak tangan.
Selain berfungsi untuk menghalau burung, suara pupuik ini membuat suasana di sawah menjadi lebih hidup.
Para petani saling sahut-menyahut, menciptakan harmoni yang penuh keceriaan ditengah aktivitas menjaga padi.
Tidak hanya itu, tradisi ini juga mempererat hubungan sosial di antara anak nagari yang bekerja bersama-sama di pondok sawah.
Alat-Alat yang Digunakan dalam Manggaro
Manggaro melibatkan berbagai alat sederhana namun penuh kreativitas, dan berikut adalah beberapa alat yang biasa digunakan:
Tali Oyak-Oyak
Tali ini biasanya dipasang melintang di atas sawah dengan tambahan benda-benda kecil yang bisa mengeluarkan suara saat tertiup angin.
Tambahan benda-benda lain berfungsi untuk mengusir burung dengan suara gemerisik yang dihasilkan.
Orang-Orangan Sawah
Salah satu ikon tradisional yang sering ditemui di sawah adalah orang-orangan sawah biasanya dibuat dari bambu atau kayu, lalu dipakaikan pakaian bekas.
Kadang, topi atau benda lain ditambahkan untuk membuatnya tampak seperti manusia.
Katapel
Katapel digunakan untuk mengusir burung secara langsung, walaupun sederhana, alat ini efektif dan sering kali menjadi “senjata” andalan para petani.
Umbul-Umbul
Umbul-umbul dari kain atau plastik warna-warni dipasang di berbagai sudut sawah, yang terus berkibar-kibar membantu membuat burung takut untuk mendekat.
Pupuik
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pupuik menjadi ciri khas tradisi Manggaro di Solok.
Selain fungsional, pupuik juga menjadi elemen seni yang membuat suasana sawah semakin semarak.
Baca Juga Tradisi Mairiak: Perayaan Panen Padi di Minangkabau
Nilai-nilai dalam Tradisi Manggaro
Keberadaan alat-alat sederhana yang digunakan dalam tradisi Manggaro tidak hanya fungsional tetapi juga memiliki nilai seni.
Instalasi seperti tali oyak-oyak dan umbul-umbul menciptakan pemandangan yang menarik di sawah.
Dengan bentuk dan warna yang bervariasi, alat-alat tersebut membuat sawah tampak seperti dihiasi dengan instalasi seni alami.
Selain itu, Manggaro juga tentang kebersamaan, dimana para petani tidak hanya bekerja menjaga padinya sendiri tetapi juga membantu menjaga sawah tetangga.
Hal ini menciptakan rasa gotong royong yang kental, sebuah nilai penting yang terus dijaga oleh masyarakat Sumatra Barat.
Menghidupkan Kembali Tradisi yang Nyaris Punah
Seiring perkembangan zaman, tradisi Manggaro perlahan mulai jarang ditemui di Sumatera Barat.
Banyak petani yang beralih menggunakan alat-alat modern seperti jaring atau teknologi otomatis untuk menghalau burung.
Meskipun lebih efisien, cara ini mengurangi aspek sosial dan budaya yang menjadi inti dari tradisi Manggaro.
Tidak hanya sebagai bentuk menjaga warisan budaya, tetapi juga untuk mengedukasi generasi muda tentang pentingnya menjaga lingkungan dan nilai-nilai kebersamaan.
Jika suatu saat kamu berkunjung ke Sumatra Barat, bisa saja kamu beruntung menyaksikan keunikan tradisi Manggaro di lahan pertanian padi milik masyarakat.
Editor: Nanda Bismar