Selain terkenal dengan tari piring dan tari pasambahan, ternyata Sumatera Barat masih menyimpan berbagai macam seni tari yang belum sepenuhnya terungkap.
Salah satunya adalah tari toga yang berasal dari Pulau Punjung, Dharmasraya.
Tidak hanya namanya yang unik, tarian ini juga belum terlalu dikenal oleh banyak orang, bahkan mungkin termasuk masyarakat di Sumatera Barat.
Walaupun terdengar asing ditelinga, tarian toga ternyata salah satu tarian legendaris yang telah menjadi akar budaya di daerah Dharmasraya.
Penasaran bagaimana seluk beluk tarian yang satu ini? berikut ulasan menariknya dari West Sumatra 360,
Tari Toga
Tarian Toga merupakan sebuah seni pertunjukan tradisional yang diwariskan oleh Kerajaan Siguntur.
Kata “Toga” sendiri berasal dari Bahasa Siguntur yang berarti larangan. Pertunjukan Tari Toga melibatkan penari, penyanyi, dan pemusik.
Dalam koreografinya, terdapat pemeran yang menggambarkan sosok raja, dayang-dayang, dan satu orang yang disebut terdakwa.
Sejarah Singkat Tari Toga Dari Kerajaan Siguntur
Tari Toga, pada awalnya merupakan legenda di Kerajaan Siguntur pada masa pemerintahan Raja Tiang Panjang.
Pada awalnya, tarian ini dijalankan sebagai suatu ritual yang hanya hidup dan berkembang di dalam lingkup kehidupan keluarga Kerajaan.
Keberadaan Tari Toga dimulai sebagai larangan bagi rakyat Siguntur untuk mengembala ternak ketika Raja Tiang Panjang, putra mahkota, dan rombongannya bersiap-siap untuk berburu.
Meskipun terdapat larangan, tidak semua warga mengetahui aturan tersebut, sehingga disebut seorang bujang (panggilan untuk pemuda laki-laki di minang) yang memiliki banyak ternak tetap melakukan aktivitas pengembalaan.
Pada suatu hari yang tidak terduga, kegiatan berburu dilaksanakan dan ternak si bujang menjadi kacau karena terkejut dengan kedatangan rombongan kerajaan, yang menyebabkan cedera pada putra mahkota.
Sapi-sapi juga merusak dan menyerang, mengakibatkan nyawa si putra mahkota terenggut.
Tari Toga awalnya diadakan sebagai hiburan bagi raja, untuk menyambut tamu-tamu Kerajaan, dan dalam rangka upacara Kerajaan.
Namun, tarian ini kemudian dilakukan secara spontan oleh dayang-dayang yang tidak puas dengan keputusan raja yang dianggap tidak adil terhadap bujang pemilik ternak.
Bujang tersebut dihukum gantung karena tidak mengetahui pengumuman larangan dari pihak Kerajaan, yang dianggap tidak adil oleh para dayang-dayang.
Pada saat yang sama, seorang laki-laki mulai menyanyikan lagu dengan tujuan yang sama seperti para dayang-dayang untuk menunjukkan rasa keadilan.
Dengan kekuatan seni yang sangat berpengaruh pada masa itu, hukuman terhadap bujang akhirnya dibatalkan melalui kesepakatan anggota dewan.
Sebagai hasilnya, Raja Tiang Panjang memerintahkan penyempurnaan Tari Toga sehingga menjadi bagian integral dari warisan budaya dan tari tradisional Kerajaan Siguntur.
Baca Juga Lima Pilihan Wisata Terbaik di Dharmasraya
Tantangan Dalam Perkembangan Tari Toga
Tarian Toga, sebuah warisan budaya yang telah menjadi bagian dari tradisi kerajaan sejak zaman Kerajaan Dharmasraya hingga Kerajaan Siguntur, menggambarkan keberlanjutan dan perubahan dalam konteks sejarah dan keagamaan.
Seiring berjalannya waktu dan peralihan penguasaan kekuasaan dari Hindu-Budha ke Islam, tari ini tetap memegang peran penting dalam berbagai acara kerajaan.
Tari Toga diwariskan dalam berbagai momentum istimewa, termasuk penobatan raja, perayaan pernikahan keluarga kerajaan, upacara mandi anak raja, merayakan kemenangan dalam pertempuran, hingga prosesi pencarian jodoh putri raja.
Namun, keberlanjutan tarian ini hampir terancam pada tahun 1908 saat Belanda menduduki Siguntur.
Benda-benda berharga termasuk tambo (riwayat tertulis) dan praktik kesenian, termasuk Tari Toga, dilarang dan hampir punah.
Pada tahun 1989, Tari Toga dihidupkan kembali oleh Tuan Putri Marhasnida, seorang pewaris Kerajaan Siguntur.
Kembalinya tarian ini diakui dan dirayakan ketika pertama kali tampil di Radio Republik Indonesia (RRI) Padang pada tahun 1990 dan diikutsertakan dalam berbagai acara kerajaan Siguntur.
Gerakan Tari Toga
Tari Toga, sebuah pertunjukan tarian yang melibatkan enam penari perempuan dan dua kelompok musik yang terdiri dari instrument dan vokal, tidak hanya sekadar sebuah pertunjukan seni.
Simbol gerak tari toga yang ditampilkan oleh para penari mencerminkan realitas kehidupan sosial di lingkungan tempat mereka tinggal.
Proses penciptaan simbol gerak tari toga dilakukan dengan penuh makna, mengangkat aktivitas ini menjadi sebuah ungkapan mendalam.
Alat musik tradisional seperti momongan, kemong, gong, canang, dan gandang memberikan dukungan yang kental pada penampilan Tari Toga, membawa nuansa khas budaya Minangkabau dan Melayu.
Tarian ini tidak hanya menonjolkan gerakan yang indah, melainkan juga memasukkan dendang Bujang Salamaik sebagai bagian integral dari pertunjukannya.
Dendang ini, yang menjadi salah satu dari banyak dendang yang pernah menghiasi Kerajaan Siguntur, dihadirkan secara khusus selama penampilan Tari Toga.
Tantangan terbaru tari toga tentu saya upaya untuk melestarikan ditengah kehidupan masyarakat yang semakin modern.
Walaupun begitu tarian ini masih kerap kali dipertunjukkan dalam beberapa kesempatan acara adat dan resmi serta festival di Dharmasraya.
Semoga informasi mengenai sejarah tari toga menambah wawasan budaya kamu tentang Sumatera Barat. Terus ikuti kami untuk informasi menarik lainnya.
Editor: Nanda Bismar