Istilah “gadai anak” mungkin menimbulkan kesan negatif bagi sebagian besar masyarakat, karena bisa jadi dikaitkan dengan tindakan eksploitasi terhadap anak.
Namun, dalam budaya Minangkabau di Sumatera Barat, praktik ini memiliki makna yang jauh berbeda dan erat dengan nilai-nilai budaya yang bersejarah.
Bahkan tidak berkaitan dengan eksploitasi atau perdagangan manusia, melainkan merupakan salah satu bentuk praktik sosial dan budaya yang diwariskan secara turun-temurun.
Penasaran dengan tradisi “gadai anak” di Minangkabau?, berikut adalah ulasan menariknya dari West Sumatera 360.
Pengertian Gadai Anak dalam Budaya Minangkabau
Tradisi “gadai anak” masih ditemukan di beberapa wilayah Sumatera Barat, terutama di daerah pesisir seperti Pesisir Selatan, Pariaman, dan Agam.
Dalam praktiknya, istilah ini merujuk pada penyerahan sementara hak asuh anak kepada kerabat atau pihak lain dalam keluarga besar.
Pada umumnya dilakukan untuk tujuan spiritual atau kepercayaan, salah satunya untuk menolak bala atau menghindari kesialan.
Anak yang digadaikan bukan berarti dipindahtangankan secara permanen, melainkan diasuh untuk sementara waktu oleh keluarga lainnya.
Hal ini dilakukan dengan harapan dapat melindungi anak dan keluarga inti dari hal-hal buruk yang dipercaya mungkin terjadi.
Latar Belakang Tradisi Gadai Anak
Meskipun tidak terdapat dokumentasi tertulis yang jelas mengenai asal-usul tradisi ini, praktik gadai anak telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Salah satu keyakinan yang melandasi praktik ini berkaitan dengan kemiripan fisik anak dengan orang tuanya.
Dalam kepercayaan orang Minang, seorang anak memiliki kemiripan wajah dengan ayah (untuk anak laki-laki) atau dengan ibu (untuk anak perempuan) dianggap sebagai pertanda kurang baik.
Kemiripan tersebut dipercaya dapat menimbulkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga, serta membawa berbagai musibah seperti penyakit, perselisihan, bahkan kematian.
Dengan alasan ini, orang tua atau mertua dari kedua belah pihak, baik dari pihak suami maupun istri, merasa perlu untuk mengajukan atau menganjurkan agar anak tersebut ‘digadai’.
Anak yang digadai bisa kepada salah satu saudari perempuan atau karib kerabat dari pihak suami, yang dalam bahasa Minang disebut bako.
Baca Juga Mengenal Tradisi Turun Mandi di Minangkabau
Proses Pelaksanaan Gadai Anak
Tradisi ini umumnya dilakukan ketika anak telah melewati masa menyusui, yaitu sekitar usia dua tahun, dimana anak dianggap telah cukup kuat secara fisik untuk dipindahkan pengasuhannya.
Proses awal pelaksanaan tradisi ini dimulai dengan pertemuan antara orang tua kandung dan pihak keluarga yang akan menerima anak.
Pertemuan dilakukan secara kekeluargaan dan berlangsung dalam suasana yang penuh kepercayaan.
Tidak ada unsur paksaan ataupun kontrak tertulis, sebab semuanya dilandasi oleh rasa saling percaya.
Sebagai simbol kesepakatan, biasanya dilakukan pertukaran barang antara para pihak, barang yang diberikan tidak bernilai jual tinggi, melainkan bersifat simbolis, seperti beras, pakaian dan lainnya.
Tujuan dari simbolisasi ini adalah sebagai bentuk tanggung jawab dan kesungguhan dalam menjalankan tradisi tersebut, bukan sebagai bentuk pembayaran atau jual beli anak.
Penebusan Anak: Tahapan Akhir Tradisi
Tradisi gadai anak tidak bersifat permanen, ketika anak beranjak dewasa, orang tua kandung akan “menebus” anak tersebut.
Proses penebusan biasanya dilakukan saat anak akan menjalani prosesi penting seperti khitan atau pernikahan.
Di beberapa daerah seperti Pesisir Selatan dan Kabupaten Agam, terdapat kebiasaan membawa “jamba” sebagai bentuk penebusan.
Jamba merupakan hidangan khas berupa makanan yang dibawa ke rumah keluarga pengasuh sebagai ungkapan terima kasih.
Sementara itu, di daerah lain seperti Pasaman Barat, bentuk penebusan dilakukan dengan cara membelikan pakaian lengkap untuk orang tua yang mengasuh anak tersebut.
Pakaian yang diberikan bukan sembarang pakaian, melainkan perlengkapan lengkap dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Ini menjadi simbol penghormatan sekaligus bentuk nyata dari rasa terima kasih atas peran besar yang telah diambil oleh keluarga pengasuh.
Prosesi ini tidak hanya menandai pengembalian anak kepada orang tua kandung secara simbolis, tetapi juga memperkuat tali silaturahmi antara kedua keluarga.
Demikianlah penjelasan mengenai tradisi gadai anak di Minangkabau, yang menggambarkan nilai kental budaya dan mengutamakan keharmonisan dalam keluarga.
Seluruh proses gadai dilaksanakan berdasarkan rasa saling percaya dan rasa hormat antar keluarga, jadi tidak hanya mendalam secara kultural, tetapi juga mempererat hubungan kekeluargaan.
Editor: Nanda Bismar