Sumatera Barat, merupakan salah satu wilayah yang kaya dengan kearifan lokal, beserta beragam tradisi dan kebiasaan yang menjadi bagian hidup sehari-hari.
Tradisi-tradisi ini membawa serta nilai-nilai yang harus dijaga dengan penuh kehormatan oleh orang Minang.
Salah satu warisan lama yang masih terjaga hingga kini adalah kebiasaan membuat lamang atau malamang.
Kehadiran tradisi ini tak hanya terbatas di satu tempat saja di Sumatera Barat, melainkan tersebar luas mulai hingga wilayah daratan seperti Solok, Payakumbuh, Agam, Tanah Datar, hingga daerah pantai seperti Padang, Pariaman, dan Pesisir Selatan.
Tak hanya di Minangkabau, tradisi malamang juga ditemukan di daerah lain yang dulunya tempat para perantau Minangkabau menetap, seperti Tapak Tuan, Mukomuko, Kerinci, Tebing Tinggi, dan bahkan di Negeri Sembilan (Malaysia).
Kehadiran malamang di tempat-tempat tersebut diyakini dibawa oleh para perantau Minangkabau pada masa lalu, yang kemudian menetap dan mewariskannya secara turun-temurun.
Sejarah Malamang
Tradisi Malamang adalah warisan budaya yang diwariskan turun-temurun dan berkembang di masyarakat Minangkabau, yang diyakini awalnya berasal dari Kabupaten Padang Pariaman.
Tradisi ini biasanya dilakukan pada hari-hari besar Islam seperti menjelang bulan Ramadhan, perayaan hari besar islam (Idul Fitri dan Idul Adha), peringatan Maulid Nabi, pesta pernikahan (baralek), peringatan kematian, dan momen-momen penting lainnya.
Berkembangnya tradisi malamang di Padang Pariaman diyakini bahwa tradisi ini juga berkaitan dengan peran Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan agama Islam di Minangkabau.
Metode Dakwah
Malamang menjadi metode dakwah yang digunakan olehnya untuk mengajarkan masyarakat mengenai makanan halal dan haram dalam ajaran Islam di daerah Ulakan, Padang Pariaman.
Dimana saat menyebarkan Islam, Syekh Burhanuddin sering berkunjung ke rumah-rumah penduduk.
Meskipun Islam sudah mulai diterima, masyarakat masih bingung membedakan makanan halal dan haram.
Makanan yang biasa disajikan oleh mereka adalah gulai babi, rendang tikus, dan goreng ular. Hal ini membuat Syekh Burhanuddin ragu terhadap kehalalan makanan yang disuguhkan.
Untuk mengatasi hal ini, Syekh Burhanuddin memperkenalkan cara memasak yang memastikan pemisahan yang jelas antara yang halal dan haram.
Masyarakat diminta memasak nasi dalam ruas bambu yang belum pernah digunakan sebelumnya.
Ruas bambu ini dilapisi daun pisang untuk mencegah beras bersentuhan dengan dinding bambu yang mungkin terkena serbuk tidak halal.
Setelah memasak nasi dalam bambu ini, baru Syekh Burhanuddin bisa makan dengan pikiran tenang.
Baca Juga Mengenal Tradisi dan Kuliner Khas Nagari Pagadih
Awalnya, beliau menggunakan beras biasa, tetapi karena cepat basi, beliau beralih ke beras ketan yang lebih tahan lama.
Cara memasak beras ketan berbeda, karena membutuhkan waktu yang lebih lama. Ruas bambu diputar agar masaknya merata, lalu kemudian dimasak dengan tungku kayu bakar.
Secara filosofis, tradisi Malamang mencerminkan nilai gotong royong dan semangat kebersamaan.
Ini terlihat pada hari pertama dari tiga hari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, di mana laki-laki dewasa dan anak-anak membantu mencari bahan seperti bambu dan kayu bakar.
Sedangkan di rumah, para ibu dibantu oleh anak perempuan mereka untuk mempersiapkan bahan-bahan yang akan dimasak dalam lamang.
Setelah bambu dan kayu bakar tersedia, bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam bambu dan dibakar dari sore hingga malam hari.
Saat sekarang ini, lamang masih menjadi salah satu makanan tradisional yang khas ditengah-tengah masyarakat Minangkabau, bahkan sejajar dengan hidangan seperti rendang, katupek (ketupat), dan lainnya.
Variasi Lamang
Lamang adalah hidangan khas masyarakat Minangkabau yang terbuat dari beras ketan dengan wadah bambu.
Meskipun proses pembuatannya serupa, variasi lamang berbeda tergantung pada bahan dasar yang digunakan.
Lamang yang terbuat dari beras ketan biasa disebut lamang bareh katan atau lamang sipuluik.
Selain itu, ada variasi lain seperti lamang baluo, lamang pisang, lamang kuning, lamang ubi jalar, lamang labu, lamang ubi kayu, lamang durian, dan lamang jagung.
Namun, yang paling populer dan sering dibuat oleh masyarakat Minangkabau adalah lamang sipuluik.
Lamang ini sering disajikan dengan tapai sebagai pendampingnya, sehingga dikenal dengan sebutan lamang tapai.
Empat Jenis Lamang yang Populer
Walaupun terdapat banyak jenis atau variasi lamang, namun ada empat lamang yang cukup populer di kalangan masyarakat Sumatra Barat, yaitu:
1. Lamang Puluik
Merupakan lamang yang terbuat dari beras ketan, jenis ini paling banyak diproduksi di Minangkabau.
Proses pembuatannya melibatkan penyalutan beras ketan ke dalam talang (bambu) dan dimasak dalam perapian selama sekitar 6 jam.
2. Lamang Pisang
Lamang pisang adalah gabungan antara pisang dan beras ketan dalam proses pembuatannya.
Perbedaan utama dengan lamang puluik terletak pada pencampuran beras ketan dan pisang sebelum dimasukkan ke dalam bambu.
3. Lamang Kuning
Merupakan jenis lamang yang menggunakan tepung beras dan kunyit sebagai bahan utamanya.
Proses pembuatannya melibatkan penggilingan beras menjadi tepung, kemudian dicampur dengan kunyit dan dimasak serupa dengan lamang lainnya.
4. Lamang Ubi
Lamang ubi terbuat dari bahan dasar ubi dalam proses pembuatannya. Dicampur dengan gula merah, ubi dimasukkan ke dalam bambu, proses pembuatannya hampir serupa dengan lamang jenis lainnya, namun tidak membutuhkan santan kelapa.
Demikianlah ragam tradisi dan kekayaan kuliner lamang yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan warisan budaya yang kaya di Minangkabau.
Berbagai varian rasa lamang juga bisa kamu sesuaikan dengan selera masing-masing, misalnya inginkan rasa gurih maka lamang sipuluik adalah pilihan terbaik.
Jika menyukai rasa manis dan legit, maka lamang pisang bisa menjadi pilihan menarik. Selamat mencoba ya!