Sunaik Rasul atau yang lebih dikenal dengan istilah khitan, merupakan salah satu bentuk budaya Minangkabau yang mencerminkan nilai agama dan adat istiadat.
Sebagai bagian dari syariat Islam, khitan menjadi tanda kedewasaan seorang anak laki-laki dan simbol kesiapan memasuki fase kehidupan yang lebih bertanggung jawab.
Namun, di Minangkabau prosesi ini tidak hanya bersifat religius, melainkan juga sarat dengan nilai-nilai budaya dan sosial yang diwariskan secara turun-temurun.
Yuk, simak penjelasan menarik tentang “sunaik rasul” sebagai tradisi dalam budaya minang.
Makna dan Tujuan Sunaik Rasul
Dalam konteks Islam, khitan merupakan sunnah yang dianjurkan bagi setiap laki-laki muslim sebagai bentuk penyucian diri dan ketaatan kepada ajaran Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan di Minangkabau, pelaksanaan sunat rasul juga memiliki makna sosial yang mendalam.
Khitan dianggap sebagai penanda bahwa seorang anak telah memasuki usia akil baligh dan siap memikul tanggung jawab sebagai anggota masyarakat.
Tradisi ini juga menjadi momen penting untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan memperkuat ikatan sosial di lingkungan masyarakat sekitar.

Proses dan Rangkaian Upacara
Pelaksanaan sunat rasul di Minangkabau umumnya dilakukan saat anak laki-laki berusia antara 8 hingga 12 tahun.
Prosesi dimulai dengan musyawarah keluarga, terutama antara orang tua, mamak (paman dari pihak ibu), dan bako (paman dari pihak ayah), untuk menentukan waktu dan persiapan acara.
Pada hari pelaksanaan, anak yang akan dikhitan diantar ke rumah bako dan kemudian diarak dengan iringan alat musik tradisional seperti talempong dan rebana.
Arak-arakan ini melambangkan penghormatan dan doa restu dari keluarga besar yang disebut juga sebagai prosesi maarak anak pisang.
Sesampainya di rumah ibu, anak disambut dengan upacara adat yang dipimpin oleh ninik mamak dan tokoh masyarakat.
Sebelum khitan, terlebih dahulu mengenakan pakaian adat lengkap sebagai simbol kesiapan menjalani prosesi khitan.
Sebelum khitan dilakukan, anak laki-laki biasanya diminta untuk berendam di sungai atau kolam selama kurang lebih 1 jam.
Hal ini dilakukan supaya kulit anak yang akan di khitan lunak dan mudah untuk dilakukan proses khitan.
Setelah itu, prosesi khitan dilaksanakan oleh seorang ahli, yang dahulu dikenal sebagai “mantari”, dan kini umumnya dilakukan oleh tenaga medis.
Setelah prosesi khitan selesai biasanya pada malam harinya akan dihelat tradisi mando’a sunaik rasul dengan tujuan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Baca Juga Mengulik Tradisi “Gadai Anak” Di Minangkabau
Perlengkapan & Simbolis
Dalam upacara sunat rasul, terdapat berbagai perlengkapan yang memiliki makna simbolis, antara lain:
- Kain sarung: Melambangkan kesucian dan kesiapan anak menjalani kehidupan baru.
- Batang pisang dan abu dapur: Digunakan sebagai tempat duduk saat khitan dan memiliki makna penyucian serta perlindungan.
- Beras dan carano bertutup: Simbol doa dan harapan agar anak mendapatkan rezeki yang berkah. Tamu undangan biasanya memberikan sumbangan berupa uang yang diletakkan dalam carano tertutup sebagai bentuk dukungan dan partisipasi dalam acara tersebut.
Pantangan
Sebelum dan pasca khitan, terdapat beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh anak yang berkhitan:
- Tidah boleh makan ampela ayam sebelum sunat, mitosnya akan membuat daging yang akan di sunat menjadi keras.
- Tidak boleh melangkahi sapu, sebagai simbol menjaga kebersihan dan etika.
- Menghindari konsumsi ikan, telur, dan makanan pedas untuk mencegah infeksi.
- Tidak tidur miring agar luka cepat sembuh.
Pantangan-pantangan ini sebenarnya berfungsi sebagai sarana edukasi bagi anak untuk belajar disiplin dan menjaga diri.
Kesenian dan Hiburan
Tradisi sunat rasul di Minangkabau juga dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan kesenian tradisional seperti randai, saluang, dan dikia baruda.
Dikia baruda, misalnya, adalah pertunjukan musik dan vokal yang melantunkan puji-pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.
Pertunjukan ini tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana dakwah dan penguatan nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat.
Pada hari esoknya biasanya juga diadakan pesta, namun pesta ini bersifat kondisional tergantung keluarga yang ingin mengadakanya.
Berdasarkan ulasan diatas jelas bahwa sunat rasul dalam budaya Minangkabau lebih dari sekadar prosesi keagamaan.
Tetapi juga manifestasi dari nilai-nilai adat, sosial, dan spiritual yang menyatu dalam kehidupan masyarakat.
Melalui tradisi tersebut, anak laki-laki di Minang diajarkan tentang pentingnya kebersihan, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap adat serta agama.
Editor: Nanda Bismar