Nagari Lingkuang Aua adalah sebuah daerah di Sumatera Barat, yang dikenal dengan keindahan alam dan kekayaan budayanya.
Di Nagari ini terdapat satu tradisi yang masih dilestarikan hingga kini yang bernama upacara Tolak Bala.
Secara lebih jauh tolak bala adalah ritual adat yang bertujuan untuk menghalau petaka dan mendatangkan keberkahan bagi penduduk setempat.
Salah satu yang menjadi tujuan ritual biasanya berkaitan dengan pertanian, misalnya mengusir penyakit dan hama pada tanaman padi dan kebun.
Tradisi ini juga telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Lingkuang Aua.
Mencerminkan kebersamaan dan nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun.
Penasaran dengan tradisi seluk beluk Tolak Bala? Simak lebih lengkap bersama West Sumatra 360,
Persiapan dan Pelaksanaan Upacara Tolak Bala
Tolak Bala adalah tradisi yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang ada di Nagari Lingkuang Aua.
Persiapan dimulai seminggu sebelum upacara utama, dimana warga bersama-sama membersihkan pekarangan rumah serta fasilitas umum.
Semangat gotong royong sangat terasa dalam kegiatan ini, menciptakan rasa kebersamaan dan tanggung jawab kolektif.
Pengumuman mengenai upacara disampaikan di mushola agar semua orang bisa bersiap.
Pada hari pelaksanaan, seluruh masyarakat mengenakan pakaian serba putih sebagai simbol kesucian dan kesederhanaan.
Pakaian yang tertutup menjadi kewajiban, menegaskan nilai-nilai kesopanan dalam budaya setempat.
Setiap peserta juga membawa obor atau suluah, yang akan digunakan selama prosesi berlangsung.
Baca Juga Mengenal Tradisi Turun Mandi di Minangkabau
Ritual dan Proses Upacara Tolak Bala
Sehari sebelum upacara, kamu pria berkumpul di mushola terdekat untuk mempersiapkan bumbu bersama-sama.
Sementara itu, kamu perempuan membawa persediaan makanan seperti kue bolu, lapek, dan roti-rotian, yang nantinya akan dinikmati bersama.
Ini bukan sekadar persiapan teknis, tetapi juga momen penting untuk mempererat tali silaturahmi.
Pada hari yang ditentukan, setelah sholat Maghrib dan Isya berjamaah di masjid bagian timur kampung, upacara Tolak Bala dimulai, sekitar pukul 23.00 malam.
Para peserta berjalan bersama-sama membawa obor di tangan kanan, sambil mengucapkan zikir dan takbir sejauh lebih kurang 4 km.
Prosesi ini berlangsung hingga mereka mencapai ujung kampung, tepatnya di sebuah jurang di tepi jalan raya.
Di sana, tokoh ninik mamak yang dihormati karena ilmu agamanya memimpin doa tolak bala.
Setelah berdoa, seorang pemuda mengumandangkan adzan, menandai berakhirnya prosesi utama.
Makna Filosofis dan Nilai Kebersamaan
Upacara Tolak Bala bukan hanya ritual untuk menghalau bencana, tetapi juga sarat dengan makna filosofis dan nilai-nilai budaya yang mendalam.
Melalui tradisi ini, masyarakat Lingkuang Aua menunjukkan rasa syukur dan keikhlasan dalam menjalani kehidupan.
Masyarakat percaya bahwa dengan menjalankan ritual tolak bala, mereka bisa mendapatkan perlindungan dari Yang Maha Kuasa.
Kebersamaan yang tercipta selama persiapan dan pelaksanaan upacara juga menjadi bukti nyata solidaritas masyarakat.
Gotong royong dan kerja sama yang terjalin memperkuat hubungan sosial, menciptakan ikatan yang lebih erat di antara warga.
Tradisi ini juga menjadi sarana untuk memperkenalkan nilai-nilai luhur kepada generasi muda, mengajarkan pentingnya menjaga warisan budaya dan kearifan lokal.
Antusiasme Masyarakat Terhadap Tradisi
Meskipun upacara Tolak Bala bertujuan untuk menghalau petaka, namun dalam pelaksanaannya dilakukan dengan penuh kegembiraan.
Bagi anak-anak dan pemuda, tradisi ini menjadi momen yang dinanti-nantikan.
Selain ritual keagamaan, mereka juga menikmati kebersamaan dan berbagai aktivitas yang dilakukan bersama-sama.
Pengalaman mengikuti upacara ini memberikan pemahaman lebih dalam tentang pentingnya menjaga kebersamaan dan gotong royong dalam masyarakat.
Tolak Bala adalah cerminan kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat Nagari Lingkuang Aua.
Melalui upaya pelestarian yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, Tolak Bala diharapkan dapat terus hidup dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Minangkabau.
Simak terus West Sumatra 360 untuk informasi mengenai budaya dan sejrah lainnya seputar Sumatera Barat.
Editor: Nanda Bismar