Close Menu
  • Home
    • About
    • Privacy Policy
    • UMKM
  • Culture
  • To Do
  • Food
  • Travel Tips
  • Services

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

7 Rekomendasi Tempat Thrifting di Bukittinggi untuk OOTD Kekinian

27/09/2025

5 Aktivitas Menarik di Pantai Padang yang Wajib Kamu Coba

26/09/2025

Fakta Seru tentang Sate Padang yang Perlu Kamu Tahu

25/09/2025
Facebook X (Twitter) Instagram
Facebook X (Twitter) Instagram
West Sumatra 360
Wednesday, October 1 Login
  • Home
    • About
    • Privacy Policy
    • UMKM
  • Culture
  • To Do
  • Food
  • Travel Tips
  • Services
West Sumatra 360
Home»Wisata»Edukasi»3 Monumen Bersejarah di Padang: Jejak Perjuangan & Diplomasi
Edukasi

3 Monumen Bersejarah di Padang: Jejak Perjuangan & Diplomasi

Novi Fani RovikaBy Novi Fani Rovika18/08/2025
Share Facebook Twitter Pinterest Copy Link LinkedIn Tumblr Email Telegram WhatsApp
Memaknai Hari Jadi Kota Padang ke-356 Lewat 3 Monumen Bersejarah
Monumen Linggar Jati
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

Kota Padang bukan hanya tentang pelabuhan yang sibuk, kota tua dan pasar tradisonal, atau tentang rumah gadang dan kawasan pesisirnya yang memikat.

Ditengah arus modernitas yang tak luput melanda kota Padang, terdapat fragmen-fragmen batu dan logam terlupakan, justru jadi penjaga memori kolektif.

Pembentuk kota pada masa lampau, salah satunya adalah monumen-monumen yang didirikan untuk mengingat peristiwa, tokoh, dan janji yang menentukan masa lalu kota ini.

Adapun tiga monumen yang masih berdiri kokoh yaitu, Tugu Padang Area (sering disebut Tugu Bara Api), Monumen Bagindo Aziz Chan (Tugu Simpang Tinju), dan Tugu Linggar Jati (Tabing).

Ketiga monumen tersebut bukan sekadar landmark kota, melainkan teks sejarah yang terukir di ruang publik.

Dalam rangka menyambut Hari Jadi kota Padang yang ke– 356, West Sumatra 360 mengajak untuk menelusuri kisah dibalik pendirian ketiga monumen tersebut.

Cerita dan peristiwa yang melatar belakanginya, serta makna dan semangat yang terus dibawa hingga saat kini.

Dalam rangka Hari Jadi Kota Padang ke-356 — sebuah penghormatan terhadap keberanian, pengorbanan, dan ingatan kolektif warga Padang.

1. Tugu Padang Area — Simpang Haru: Kobaran Api dari Pertempuran Kota

Di persimpangan ramai yang kini lebih dikenal dengan sebutan “Simpang Haru”, berdiri sebuah tugu tinggi berbentuk lidah–lidah api yang menjulang ke langit.

Nama tugu tersebut adalah Tugu Padang Area, tetapi hari ini, masyarakat lebih mengenalnya sebagai Tugu Simpang Haru atau menyebutnya dengan Tugu Api.

Tugu Api dibangun sebagai peringatan atas sebuah pertempuran hebat yang pernah mengguncang Kota Padang pada masa revolusi kemerdekaan.

Menurut catatan pemerintah kota dan sejumlah sumber lokal, tugu mulai dibangun pada 17 Agustus 1990 dan rampung pada 1992.

Dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada para pejuang yang gugur dalam serangkaian pertempuran di kawasan Simpang Haru antara 1945–1949.

Kenapa Berbentuk Lidah Api?

Bentuk lidah api pada Tugu Padang Area atau Tugu Simpang Haru, merujuk pada simbol api perjuangan.

Sekaligus mengandung unsur budaya Minangkabau, seperti interpretasi lokal mengaitkan bentuk tiga lidah api itu dengan falsafah adat “Tali Tigo Sapilin” atau “Tungku Tigo Sajarangan”.

Sebuah unsur penjaga adat yang melambangkan keseimbangan sosial di masyarakat Minangkabau.

Ketiganya yaitu Bundo Kanduang dan Niniak Mamak sebagai tokoh dan pemuka adat, Alim Ulama sebagai pemuka agama serta Cadiak Pandai sebagai kaum pemikir atau intelektual.

Dengan demikian, berarti Tugu Simpang haru dibangun tidak hanya sekedar untuk memperingati sebuah aksi bersenjata.

Tetapi juga menautkan perjuangan fisik dengan akar budaya masyarakat setempat.

Kenapa di Simpang Haru?

Simpang Haru adalah saksi luka dan sejarah atas puluhan pejuang dan warga yang tewas dalam bentrokan antara pasukan republik dan pasukan Belanda/KNIL akhir 1945 hingga 1946.

Peristiwa ini dikenal dalam sumber-sumber lokal sebagai bagian dari “Pertempuran Padang Area”.

Kawasan ini pernah menjadi lokasi pertahanan, pertempuran jalanan, bahkan tempat penyimpanan senjata pada masa-masa awal republik.

Momen – momen yang kemudian ingin dilestarikan dan dikenang dalam bentuk monument, agar generasi berikutnya paham betapa mahalnya sebuah kemerdekaan.

Pendirian Tugu Padang Area pada era 1990-an juga mencerminkan upaya pemerintah daerah mengabadikan memori lokal dalam bentuk simbol – simbol kota.

Sebuah gerakan yang selaras dengan kebangkitan narasi nasional di tingkat lokal setelah masa Orde Baru.

Tugu ini sejak saat itu menjadi titik orientasi kota dan arena ritual kecil: ziarah hari pahlawan, upacara, serta latar foto warga yang ingin mengabadikan kebanggaan kota.

Tugu Simpang Haru - Photo Wikimedia Commons
Tugu Simpang Haru Photo Wikimedia Commons

2. Tugu Bagindo Aziz Chan — Simpang Tinju: Kepalan Tangan sebagai Simbol Perlawanan

Di sebuah pertigaan yang menyambungkan Jalan Jhoni Anwar dan Jalan Gajah Mada di daerah Nanggalo Kota Padang, terdapat sebuah tugu berbentuk kepalan tinju.

Disebut juga Tugu Simpang Tinju, yang berkaitan langsung dengan nama Bagindo Aziz Chan, seorang tokoh lokal yang kemudian diangkat sebagai pahlawan nasional.

Bagindo Aziz Chan (1910–1947) adalah sosok seorang guru, sekaligus aktivis, pada masa revolusi yang dipercaya menjadi walikota Padang (dilantik 15 Agustus 1946).

Kiprahnya di pemerintahan lokal dan perjuangannya mempertahankan kedaulatan, membuatnya menjadi simbol perlawanan di kota Padang.

Klook.com

Akhirnya gugur pada 19 Juli 1947, yang kemudian dikaitkan dengan taktik kekerasan Belanda sepanjang awal Agresi Militer Belanda.

Makna Kepalan Tinju

Bentuk kepalan tinju pada Tugu Bagindo Aziz Chan di persimpangan yang mempertemukan Jalan Jhony Anwar dengan Jalan Gajah Mada di Nanggalo itu, bukan kebetulan saja estetis.

Melainkan melambangkan sebuah metafora tindakan, tekad, dan perlawanan.

Menurut berbagai sumber, Tugu Bagindo Aziz Chan diresmikan oleh pemerintah daerah sejak pertengahan 1980-an (salah satu tanggal persemian disebut 19 Juli 1983).

Dibangunnya tugu adalah sebagai cara untuk memastikan nama Bagindo Aziz Chan tetap hidup dalam ruang umum.

Selain di persimpangan Nanggalo, juga dibangun monumen lain tentang Bagindo Aziz Chan berbentuk sebuah patung, yaitu di kompleks Museum Adityawarman.

Kisah hidup dan wafatnya Bagindo Aziz Chan juga mengandung unsur tragis dan dramatis yang membuatnya mudah diingat sebagai pemipin yang cerdas dan berpendidikan.

Kematian Bagindo Aziz Chan sebagai seorang walikota muda di medan perjuangan, kemudian menjadi mitos lokal sekaligus pengingat.

Tugu Simpang Tinju kemudian juga menjadi titik konsentrasi narasi sebuah panggilan moral untuk mengenang kepemimpinan yang berani demi mempertahankan kemerdekaan.

3. Tugu Linggar Jati — Tabing: Mengingat Janji Perjanjian

Berbeda dengan dua tugu sebelumnya yang merekam kekerasan pertempuran lokal, Tugu Linggar Jati di kawasan Tabing mengaitkan Padang dengan momentum diplomatik besar.

Yaitu Perjanjian Linggarjati (sering dieja Linggar Jati), yang diumumkan pada 18 November 1946.

Perjanjian ini merupakan kesepakatan antara pihak Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda, yang secara de facto, mengakui wilayah Republik meliputi Jawa, Sumatra, dan Madura.

Walaupun kemudian perjanjian tersebut diikuti oleh rangkaian peristiwa politik dan militer yang kompleks.

Untuk mengingat momen penting tersebut, maka didirikanlah monumen Linggar Jati di Padang, tepatnya di daerah Tabing.

Monumen yang dibangun tahun 1985 tersebut, merupakan bentuk penghormatan atas upaya diplomasi menempatkan wilayah Sumatera sebagai pengakuan awal kedaulatan Indonesia.

Mengapa menempatkan monumen Linggarjati di Tabing?

Pemilihan lokasi tidak hanya dekat dengan akses utama Kota Padang, tetapi juga membantu menghubungkan narasi metropolitan Padang dengan dinamika nasional.

Menyatakan bahwa proses kemerdekaan bukan hanya soal pertempuran bersenjata, melainkan juga perundingan, pengakuan internasional, dan manuver politik yang sengit.

Tugu Linggar Jati mengajak masyarakat mengenang aspek diplomasi perjuangan kemerdekaan, sehingga ruang publik tak hanya menarasikan heroisme militer, tetapi juga diplomasi politik.

Makna Kolektif dan Fungsi Monumen dalam Ruang Publik

Monumen – monumen diatas: Simpang Haru, Simpang Tinju, dan Linggar Jati, menyusun mosaik ingatan yang berbeda-beda.

Yaitu pertempuran ekstensif, pengorbanan seorang pemimpin kota, dan perundingan kenegaraan, sekaligus memiliki fungsi kolektif yang hampir serupa:

  1. Mengabadikan peristiwa supaya tak hilang oleh waktu
  2. Memberi titik fokus untuk upacara dan ritual publik
  3. Menjadi alat pendidikan non-formal yang menyambungkan generasi muda dengan masa lalu
  4. Menegaskan identitas kota Padang sebagai ruang yang lahir dan terbentuk dari narasi lokal menjadi narasi nasional.

Selain itu, bentuk-bentuk monumen juga berbicara: lidah api, kepalan tinju, atau prasasti peringatan—semuanya adalah bahasa visual yang mudah dibaca oleh warga.

Arsitektur monumen sering menyisipkan unsur lokal (seperti pengaitan dengan falsafah adat di tugu Simpang Haru) sehingga monumen tidak hanya menjadi tanda sejarah, tetapi juga pengukuh budaya.

Pemahaman ini penting: monumen efektif bila bukan hanya memberi fakta sejarah, tetapi juga resonansi sosial-budaya yang membuat warganya merasa “memiliki” memori itu.

Menjaga Memori, Menjaga Kota

Mengunjungi Simpang Haru, berjalan mengitari Simpang Tinju, atau berhenti sejenak di Tugu Linggar Jati, dapat mengukir ulang komunikasi antara masa lalu dengan masa kini.

Tiga monumen yang diulas West Sumatra 360 kali ini adalah fragmen dari narasi panjang Kota Padang.

Menceritakan keberanian berdarah, kepemimpinan yang gugur, dan perundingan politik yang memetakan masa depan bangsa.

Saat Kota Padang merayakan usia ke-356, monument-monumen tersebut berdiri sebagai pengingat bahwa kemerdekaan dibangun dari semangat dan keputusan yang tak selalu mudah.

Menghormati monumen diatas berarti meneruskan tugas mengingat dan menceritakan kembali, agar generasi yang akan datang memahami nilai-nilai yang membentuk Kota Padang!

Editor: Nanda Bismar
Share. Facebook Twitter WhatsApp Telegram LinkedIn Copy Link
Novi Fani Rovika
  • Instagram

Related Posts

Fakta Seru tentang Sate Padang yang Perlu Kamu Tahu

25/09/2025

10 Things You Probably Don’t Know About West Sumatra

24/09/2025

Nagari Ujung Gading: Menelusuri Jejak Suku Mandailing di Ranah Minang

18/09/2025
Add A Comment

Comments are closed.

Top Posts

7 Rekomendasi Tempat Thrifting di Bukittinggi untuk OOTD Kekinian

27/09/2025

Danau Maninjau Pacu Biduak Open Race 2022

01/12/2022

5 Things To Do in Mentawai Islands

03/12/2022

5 Kebun Satwa di Sumatera Barat yang Wajib Kamu Kunjungi

04/12/2022

6 Cafe Dengan Pemandangan Samudera Hindia di Kota Padang

05/12/2022

Subscribe to Updates

Get the latest tech news from FooBar about tech, design and biz.

Most Popular

7 Rekomendasi Tempat Thrifting di Bukittinggi untuk OOTD Kekinian

27/09/2025

Danau Maninjau Pacu Biduak Open Race 2022

01/12/2022

5 Things To Do in Mentawai Islands

03/12/2022
Our Picks

7 Rekomendasi Tempat Thrifting di Bukittinggi untuk OOTD Kekinian

27/09/2025

5 Aktivitas Menarik di Pantai Padang yang Wajib Kamu Coba

26/09/2025

Fakta Seru tentang Sate Padang yang Perlu Kamu Tahu

25/09/2025

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

Facebook X (Twitter) Instagram
  • About
  • Privacy Policy
  • Our Team
© 2025 WestSumatra360.com. Designed by Hendri Simon.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

Sign In or Register

Welcome Back!

Login to your account below.

Lost password?