Harimau bagi orang Minangkabau, merupakan simbol kekuatan, penjaga moral dan bagian dari kosmologi budaya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Namun, ditengah ancaman kepunahan dan rusaknya habitat alami, jejak harimau yang kerap muncul dan dijumpai warga, justru dianggap sebuah ancaman yang menakutkan.
Harimau di Minangkabau tidak lagi abadi dalam cerita rakyat, mitos, hingga pantangan adat.
Disaat keberadaan harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) semakin langka, kesadaran kolektif tentang konservasi pelestarian harimau Sumatera di Sumatera Barat, turut melemah.
Padahal, antara budaya dan konservasi mestinya tidak bisa dipisahkan, sebagaimana filosofi dalam budaya Minangkabau yang menyatakan bahwa “Alam Takambang Jadi Guru”.
Dimana artinya adalah alam semesta merupakan pusat ilmu pengetahuan bagi masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.
Harimau dalam Kosmologi Minangkabau
Dalam kepercayaan tradisional Minangkabau, harimau diposisikan sebagai penjelmaan roh leluhur atau penjaga kampung (nagari).
Istilah “Inyiak Balang” digunakan untuk menyebut harimau secara halus karena kata “inyiak” sendiri merujuk pada gelar terhormat atau sebutan yang biasa ditujukan kepada orang tua.
Sedangkan “balang” berarti harimau, menyebut langsung “harimau” dalam percakapan juga menjadi hal yang tabu atau dilarang.
Karena dianggap tidak sopan dan bisa mengundang kehadiran sang makhluk agung tersebut.
Banyak cerita rakyat dan kaba di Minangkabau yang menggambarkan sosok harimau bukan semata binatang buas.
Tetapi sebagai penegak keadilan yang diyakini akan memburu mereka yang durhaka pada adat, atau melanggar sumpah.
Di beberapa daerah, harimau dipercaya sebagai “panghulu rimba”, makhluk bijak yang tahu batas dan tata nilai.
Jika seseorang hilang di hutan dan kembali dalam keadaan selamat, diyakini itu karena “dijagai harimau”.
Salah satu legenda terkenal yang masih hidup dikalangan masyarakat Minangkabau adalah kisah Harimau Campa (Campo).
Yaitu seekor harimau yang dipercaya sebagai titisan datuk sakti yang muncul untuk menegakkan hukum adat dan mengingatkan manusia agar tidak menyimpang dari nilai kebenaran.
Kisah ini berkembang terutama di daerah Agam dan Pasaman, serta masih dituturkan dalam randai dan pertunjukan tradisional lainnya.
Legenda Harimau Campo adalah cerita rakyat Minangkabau yang mengisahkan tentang seorang tokoh bernama Harimau Campo yang diyakini sebagai salah satu pendiri awal Silek (silat) Minang.
Sosoknya juga dianggap sebagai pendekar dan pengiring Ninik Sri Maharaja Diraja.
Pantangan dan Etika Hutan
Harimau juga diyakini melahirkan serangkaian pantangan yang hingga kini masih dipegang teguh oleh masyarakat adat di Minangkabau, misalnya ketika masuk hutan seseorang dilarang untuk:
- Bersikap sombong atau berbicara kasar.
- Menyebut nama harimau secara langsung.
- Mengambil hasil hutan secara serakah.
Pantangan – pantangan tersebut sejatinya adalah bentuk kearifan ekologis, dianggap juga sebuah etika dalam memperlakukan alam secara beradab.
Dalam narasi tradisi, hutan adalah rumah harimau, dan manusia adalah tamu yang harus tahu diri Ketika berkunjung.
Masyarakat Minangkabau juga percaya bahwa melakukan pelanggaran terhadap pantangan -pantangan yang sudah ditetapkan tersebut akan membuat harimau “murka”.
Hal ini akan menuntun dan menumbuhkan sikap hati-hati dan rasa hormat manusia terhadap alam yang sebenarnya sangat relevan dengan prinsip konservasi modern.
Jejak Simbolik dalam Seni dan Arsitektur
Simbolisme harimau juga tercermin dalam seni dan budaya di Minangkabau, seperti dalam bentuk ukiran yang pada rumah gadang.
Terdapat ukiran berbentuk cakar balam atau kuku harimau, yang menjadi simbol keberanian dan keteguhan.
Sementara dalam seni budaya, juga terdapat seni bela diri yang telah mengakar dan hanya dimiliki oleh masyarakat Minangkabau, yaitu “Silek Harimau”.
Kemudian dalam pakaian penghulu, simbol kekuatan harimau kadang diwujudkan melalui pemakaian motif belang atau ornamen emas berbentuk taring.
Bahkan di beberapa nagari, nama kampung atau hutan juga merujuk pada kehadiran harimau di masa lalu.
Seperti “Lubuak Batingkok” yang artinya adalah tempat pemandian harimau, serta “Rimbo Larangan”, yang merupakan hutan terlarang yang diyakini sebagai rumah harimau.
Simbol ini tidak hanya bersifat dekoratif, tapi juga menjadi penanda identitas dan ingatan kolektif akan kedekatan spiritual antara manusia dan satwa liar.
Baca Juga 5 Kebun Satwa di Sumatera Barat yang Wajib Kamu Kunjungi
Dilema Modern: Antara Ketakutan dan Kehilangan
Hari ini, hubungan masyarakat minang dengan harimau mengalami banyak sekali pergeseran, terutama akibat konflik satwa – manusia yang kerapkali dilabelkan.
Mulai dari sekedar penampakan jejak, hingga ada Harimau yang masuk kampung dan menggigit ternak warga.
Konflik ini sering berujung pada penangkapan harimau untuk kemudian diambil dari habitatnya.
Laporan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat, konflik harimau-manusia terus meningkat di beberapa daerah seperti Pasaman, Solok Selatan, dan Pesisir Selatan.
Salah satu penyebabnya diyakini karena adanya fragmentasi alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian.
Ironi yang menyedihkan adalah: makhluk yang dulu diagungkan sebagai inyiak penjaga nagari, kini menjadi korban ketakutan dan ketidakseimbangan ekologis yang dibuat manusia sendiri.
Menjembatani Budaya dan Konservasi
Walaupun memiliki tantangan yang cukup berat, sejumlah komunitas dan organisasi mulai mengintegrasikan nilai-nilai budaya dalam kampanye konservasi harimau.
Misalnya: Sumatra Wild Adventure, menjadi sebuah organisasi lokal sosial berbasis konservasi, yang mengangkat kampanye #HarimauAdalahMinang.
Salah satu caranya adalahdengan mengajak generasi muda memahami kembali makna harimau dalam adat Minangkabau.
Selain itu juga ada kampanye “Si Bancah” dengan program edukasinya “Si Bancah Masuk Sekolah”, menggabungkan edukasi satwa dilindungi dari kisah “Si Bancah”.
Yaitu seekor harimau cacat korban konflik yang harus kehilangan satu kakinya akibat jerat yang di pasang pemburu, dimana hingga hari ini masih bertahan hidup di kebun binatang.
Penggunaan pendekatan budaya diharapkan bisa menjadi kunci dalam menumbuhkan kesadaran ekologis.
Hingga mampu mendorong nagari – nagari agar dapat menyusun aturan lokal (peraturan nagari) untuk melarang penggunaan jerat di hutan dan lahan – lahan ulayat masyarakat.
Sebagai bentuk kampanye kembali ke akar, yang melihat harimau tidak lagi hanya sebagai satwa, tapi sebagai bagian dari jati diri masyarakat.
Menjaga Warisan, Menyelamatkan Masa Depan
Jejak harimau dalam budaya Minangkabau bukan sekadar kenangan atau romantisme masa lalu, melainkan sebagai pengingat bahwa alam dan budaya saling terikat.
Jika harimau benar-benar punah di rimba Sumatera Barat, maka bukan hanya ekosistem yang terganggu tetapi roh budaya itu sendiri akan pincang.
Maka tugas kita hari ini tidak hanya menyelamatkan harimau, tetapi juga menghidupkan kembali narasi budaya yang memuliakan alam sebagai guru dan penjaga kehidupan.
Seperti pepatah Minangkabau yang mengatakan, “Alam takambang jadi guru, harimau balang jadi lambang juo.”
Selama kita masih punya cerita, maka harimau belum benar-benar hilang dari bumi dan dari hati semua manusia.
“Selamat Hari Harimau Internasional” (Global Tiger Day) 29 Juli 2025.
Editor: Nanda Bismar