Kerajaan Malayu Dharmasraya merupakan salah satu kerajaan kuno yang pernah berjaya di Pulau Sumatera pada abad ke-13.
Lokasinya diperkirakan berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari, yang kini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat.
Berdiri sekitar abad ke-11 hingga abad ke-14 Masehi, kerajaan ini menjadi penerus kekuasaan Malayu setelah kemunduran Kerajaan Sriwijaya.
Sekaligus menjadi penghubung penting dalam jalur perdagangan dan penyebaran budaya di Nusantara.
Kemunduran Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-11 terjadi akibat adannya serangan dari Kerajaan Colamandala (Chola) dari India Selatan.
Sekaligus membuka jalan bagi bangkitnya kekuatan-kekuatan lokal di Sumatera, salah satu kekuatan itu adalah Kerajaan Malayu Dharmasraya.
Sejarah Singkat Kerajaan Malayu Dharmasraya
Berdasarkan catatan sejarah dari beberapa peninggalan prasasti, Dharmasraya muncul sebagai penerus kejayaan Malayu.
Mengambil alih peran Sriwijaya sebagai pusat perdagangan, budaya, dan kekuasaan di Sumatera bagian tengah.
Nama “Dharmasraya” sendiri diambil dari manuskrip yang terdapat pada Prasasti Padang Roco yang tertera angka tahun 1286 M, di Jorong Sungai Langsat, Kenagarian Siguntur, Kecamatan Sitiung.
Kerajaan Malayu Dharmasraya didirikan oleh Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa dari Dinasti Mauli pada tahun 1183 Masehi.
Sumber utama yang menyebutkan keberadaan Dharmasraya adalah Prasasti Grahi (1183 M) di selatan Thailand, yang bertanggal 1183 Masehi.
Prasasti ini mencatat perintah dari Raja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi untuk membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin.
Pusat Kerajaan Malayu Dharmasraya disebut berada di tepi Sungai Batanghari, yang kini berada di wilayah Kabupaten Dharmasraya.
Keberadaan kerajaan Dharmasraya juga disebut menjadi simbol kebangkitan peradaban Malayu setelah melemahnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya.
Prasasti Padang Roco juga memperlihatkan adanya hubungan erat antara Malayu Dharmasraya dengan kerajaan-kerajaan besar di Asia Tenggara pada masa itu, seperti Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa.
Situs-Situs Peninggalan Sejarah Yang Menceritakan Keberadaan Kerajaan Malayu Dharmasraya
Beberapa situs sejarah yang menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Malayu Dharmasraya yang masih bisa dijumpai hingga hari ini diantaranya adalah:

1.  Candi Padang Roco
Candi Padang Roco merupakan situs bersejarah yang terdiri dari empat bangunan, dengan tiga di antaranya telah berhasil digali dan dipugar.
Candi ini beraliran agama Buddha dan memberikan gambaran kehidupan spiritual masyarakat pada masa itu.
Lokasinya tepatnya berada di Jorong Sungai Langsat, Kenagarian Siguntur, Kecamatan Sitiung – Kabupaten Dharmasraya.
2.  Candi Pulau Sawah
Situs Candi Pulau Sawah merupakan salah satu peninggalan penting dari Kerajaan Malayu Dharmasraya, yang menunjukkan kemajuan arsitektur dan keagamaan pada masa kerajaan.
3.  Arca Amoghapasa
Arca Amonghapasa merupakan hadiah dari Raja Kertanagara dari Kerajaan Singasari kepada Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa pada tahun 1286 Masehi.
Arca ini kemudian diletakkan di bumi Dharmasraya sebagai simbol persahabatan dan pengaruh budaya antara Jawa dan Sumatera.
Hubungan dengan Singhasari dan Ekspedisi Pamalayu
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Dharmasraya adalah keterlibatannya dalam Ekspedisi Pamalayu yang dilancarkan oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari pada tahun 1275.
Ekspedisi ini bertujuan mempererat hubungan politik dan budaya antara Jawa dan Sumatera, sekaligus membendung pengaruh Mongol di kawasan Asia Tenggara.
Pada dasarnya Dharmasraya menerima ekspedisi Singhasari dengan tangan terbuka, hal ini dibuktikan dengan catatan pada Prasasti yang terdapat di Candi Padang Roco.
Prasasti tersebut menyebutkan, pemberian arca Amoghapasa dari Kertanegara kepada rakyat Dharmasraya sebagai tanda persahabatan.
Arca itu melambangkan harapan akan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat Malayu dan hubungan baik dengan Singhasari.
Tokoh penting dari masa ini adalah Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, yang disebut dalam prasasti sebagai penguasa Dharmasraya.
Ia dianggap berhasil menjaga stabilitas politik dan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan besar di sekitarnya.
Peran Dharmasraya dalam Jalur Rempah Nusantara serta Pusat Kekuasaan dan Wilayah
Dharmasraya diperkirakan berpusat di sepanjang Sungai Batanghari, yang merupakan jalur air penting yang menghubungkan wilayah pedalaman Sumatera dengan pesisir timur.
Wilayah kekuasaan Dharmasraya meliputi sebagian besar Sumatera bagian tengah dan timur, termasuk wilayah Jambi, Riau, dan sebagian Sumatera Selatan.
Sebagai kerajaan yang berbasis di jalur perdagangan, Dharmasraya memiliki keunggulan strategis, karena keberadaan Sungai Batanghari memungkinkan pengiriman barang dari pedalaman.
Barang-barang berharga seperti: emas, kayu, damar, dan rotan ke wilayah pesisir untuk diperdagangkan ke luar wilayah Sumatera.
Dharmasraya dengan letaknya yang strategis di tepi Sungai Batanghari, memainkan peran penting sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di Nusantara.
Wilayah ini menjadi jalur penghubung antara pedalaman Sumatera dengan pesisir timur, memungkinkan pertukaran budaya dan ekonomi yang signifikan.
Kebudayaan dan Agama
Sebagai penerus tradisi Malayu-Sriwijaya, Dharmasraya mewarisi kekayaan budaya yang luar biasa dengan Agama Buddha Mahayana menjadi kepercayaan utama.
Seperti yang tercermin dalam arca-arca yang ditemukan di situs Padang Roco dan sekitarnya, namun ada juga pengaruh Hindu dan kepercayaan lokal yang hidup berdampingan.
Seni ukir batu, arsitektur, dan sastra berkembang pesat pada masanya, seperti Arca Amoghapasa yang tersimpan di Museum Nasional Indonesia, adalah contoh mahakarya seni rupa dari masa Dharmasraya.
Keberadaan candi-candi kecil dan prasasti menunjukkan tingginya nilai religius dan intelektual masyarakatnya.
Selain itu, sistem pemerintahan dan hukum di Dharmasraya memperlihatkan kematangan, dimana Raja dianggap sebagai perwujudan kekuatan suci, dengan tugas utama menjaga keseimbangan kosmis.
Baca Juga 7 Fakta Unik dan Menarik Seputar Kabupaten Dharmasraya
Runtuhnya Kejayaan
Seiring berjalannya waktu, kekuasaan Dharmasraya mulai melemah dengan munculnya kerajaan-kerajaan baru seperti Kerajaan Malaka di semenanjung dan meningkatnya pengaruh Majapahit di Jawa.
Selain itu, jalur perdagangan beralih dari jalur sungai pedalaman ke jalur laut, menyebabkan Dharmasraya kehilangan posisi strategisnya.
Perkembangan Islam di pesisir timur Sumatera pada abad ke-14 dan 15 juga mempercepat perubahan sosial dan politik di wilayah tersebut.
Pada akhirnya, Dharmasraya perlahan hilang dari catatan sejarah, namun jejak-jejak kejayaannya tetap tertinggal dalam artefak, tradisi, dan memori kolektif masyarakat setempat.
Warisan Kerajaan Malayu di Ranah Cati Nan Tigo
Ranah Cati Nan Tigo adalah istilah adat yang merujuk pada kesatuan tiga wilayah penting di dataran tinggi Minangkabau pada masa lampau, yaitu Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota.
Ketiganya membentuk pusat pemerintahan adat dan budaya Minangkabau yang kemudian dikenal sebagai Luhak Nan Tigo.
Dalam konteks sejarah Kerajaan Dharmasraya, Ranah Cati Nan Tigo memegang peranan penting sebagai bagian dari inti kekuasaan dan pusat peradaban Minangkabau awal.
Pada masa Kerajaan Dharmasraya, wilayah ini menjadi pusat pemerintahan, pendidikan, dan penyebaran budaya.
Bahkan, dalam berbagai naskah kuno dan tambo (sejarah lisan Minangkabau), disebutkan bahwa Ranah Cati Nan Tigo menjadi tempat bermusyawarah para pemimpin adat dan kerajaan dalam mengambil keputusan besar.
Tradisi musyawarah mufakat, serta adat yang kuat di Minangkabau saat ini, berakar dari sistem pemerintahan yang telah dibangun sejak masa Kerajaan Dharmasraya.
Sebutan Ranah Cati Nan Tigo memiliki makna mendalam dalam budaya Minangkabau, dimana istilah ini merujuk pada konsep musyawarah dan mufakat yang melibatkan tiga unsur penting dalam pemerintahan.
Ketiga unsur penting tersebut adalah alim ulama, niniak mamak, dan cadiak pandai, yang mencerminkan sistem pemerintahan yang demokratis dan berbasis pada nilai-nilai kebersamaan.
Dengan demikian, Ranah Cati Nan Tigo bukan hanya sekadar kawasan geografis, tetapi juga simbol penting lahirnya tatanan sosial, politik, dan budaya Minangkabau yang bertahan hingga kini.
Warisan dan Relevansi Hari Ini
Hari ini, sisa-sisa kejayaan Kerajaan Malayu Dharmasraya menjadi bagian penting dari identitas budaya Sumatera Barat dan Indonesia secara umum.
Situs-situs bersejarah seperti Kompleks Candi Padang Roco, Candi Pulau Sawah, dan peninggalan arca Amoghapasa menjadi saksi bisu masa lalu yang gemilang.
Pemerintah daerah dan komunitas lokal berupaya melestarikan, baik melalui penelitian arkeologi, festival budaya, maupun pengembangan pariwisata sejarah.
Bukan hanya soal mengenang masa lalu, tetapi juga memahami akar identitas bangsa dan membangun masa depan yang lebih berakar pada nilai-nilai budaya sendiri.
Melalui jejak Dharmasraya, kita belajar tentang pentingnya diplomasi, keterbukaan terhadap pengaruh luar, dan kemampuan adaptasi sebagai kunci kejayaan.
Kerajaan ini membuktikan bahwa di balik lebatnya hutan Sumatera, pernah berdiri sebuah peradaban besar yang mampu menjalin hubungan dengan dunia luar, menciptakan seni dan budaya yang agung.
Editor: Nanda Bismar