Tambo adalah sebuah jenis karya sastra sejarah yang berasal dari budaya Minangkabau, yang bermuat berbagai cerita tentang asal usul Minangkabau.
Tidak hanya itu, karya ini mencatat kisah-kisah legenda yang terkait dengan asal usul suku bangsa, wilayah, tradisi, dan alam Minangkabau.
Tambo Minangkabau umumnya ditulis dalam bahasa Melayu dengan bentuk prosa.
Melalui narasi yang dipaparkan dalam tambo, masyarakat Minangkabau dapat memahami
akar budaya mereka, serta menghargai warisan sejarah yang telah mereka wariskan dari generasi ke generasi.
Di dalam tambo minang ada beberapa nama yang terkenal yang sering di dengar maupun yang tidak pernah di dengar.
Penasaran siapa saja? berikut tokoh-tokohnya:
1. Datuak Parpatiah Nan Sabatang
Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah seorang tokoh legendaris di Minangkabau yang memiliki gelar setingkat Paduka Raja.
Dia dikenal sebagai penyusun adat Minangkabau dan sistem adat yang disusunnya dikenal sebagai kelarasan Bodi Caniago.
Dilahirkan dari pasangan Cati Bilang Pandai dan Puti Indo Jelita, ia memiliki saudara tiri bernama Datuk Ketumanggungan.
Gelarnya diabadikan dalam nama jalan di Kota Solok karena kontribusinya dan pengaruhnya dalam aliran Bodi Caniago.
Di Negeri Sembilan, Malaysia, adat Perpatih yang dipraktikkan oleh orang Minang merupakan hasil gagasan dari Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Dalam Prasasti Amoghapasa, Namanya juga disebut sebagai Parpatiah dan kadang-kadang diidentifikasi sebagai Patih Sewatang.
Bersama Tumenggung (Datuk Ketumanggungan), ia menjabat sebagai patih kerajaan.
Meskipun melawan sistem otoriter dan aristokrasi yang dibangun oleh saudaranya, ia memberikan pesan kepada keturunannya untuk tidak menjadi bodoh.
Jasa-jasanya diwariskan turun-temurun dalam ingatan orang Minang.
Baca Juga Sumbang Duo Baleh, Aturan Dasar Yang Harus Ditaati Oleh Perempuan Minangkabau
2. Datuak Katumangguangan
Datuak Katumanggungan merupakan seorang yang diangkat sebagai penghulu dan merupakan salah satu anak dari Raja Sri Maharaja Diraja.
Mengatur aturan adat Minangkabau yang dikenal sebagai Lareh Koto Piliang.
Menurut sebagian cerita dalam Tambo Maharajadiraja, Datuk Katumanggungan adalah hasil dari pernikahan antara Sri Maharaja Diraja dari Kerajaan Pasumayan Koto Batu dengan Puti Indo Jelita.
Dia memiliki saudara tiri, Datuk Perpatih Nan Sebatang, yang ayahnya bernama Cati Bilang Pandai, suami kedua dari Puti Indo Jelita setelah Sri Maharaja Diraja meninggal.
Ketika dewasa, Datuk Katumanggungan diangkat sebagai penghulu dengan gelar yang sama dan mengambil alih takhta Kerajaan Minangkabau dari ibunya yang sebelumnya berkuasa.
3. Dara Jingga (Bundo Kanduang)
Bundo Kanduang, sebuah istilah yang merujuk pada figur perempuan tertua atau yang dihormati dalam suku Minangkabau.
Menunjukkan peran penting sebagai pemimpin wanita dalam menjaga tradisi Minangkabau dari masa lalu hingga sekarang.
Gelar ini digunakan untuk menandai perempuan yang telah menikah dan memiliki keluarga.
Nah, menurut pendapatnya dara jingga merupakan sosok bundo kanduang pertama di Miangkabau.
Ia adalah Seorang putri dari raja Tribuanaraja Mauliawarmadewa menikah dengan seorang bangsawan dari Kerajaan Singasari selama ekspedisi Pamalayu.
Namun hal ini masih belum konkrit dan belum ada bukti yang pasti.
4. Cati Bilang Pandai
Menurut cerita Tambo Minangkabau, Cati Bilang Pandai menikahi Bundo Kanduang.
Beliau memiliki beberapa anak, termasuk Sutan Balun yang kemudian dikenal sebagai Datuk Perpatih Nan Sebatang.
Serta Mambang Sutan yang dikenal sebagai Sikalap Dunio Nan Banego-nego, serta beberapa putri lainnya.
Ia juga menjadi ayah tiri bagi Sutan Paduko Basa yang bergelar Datuk Ketumanggungan.
Cati Bilang Pandai dihormati karena kearifan dan kemampuannya mendidik anak-anaknya, yang kemudian menjadi tokoh bijak di masa depan.
Dalam Tambo, ia diyakini hidup sebelum zaman Adityawarman dalam sejarah Minangkabau.
Ada versi yang menyebut bahwa Cati Bilang Pandai menikahi Puti Indah, janda Maharajo Dirajo.
Dari pernikahan itu lahir Sutan Balun, Sakalap, dan Puti Reno Sudah.
5. Sang Sapurba
Sang Sapurba, tokoh mitos dari berbagai etnis keturunan Iskandar Zulkarnain, memiliki legenda yang tersebar luas di Minangkabau, Palembang, dan Semenanjung Melayu.
Dalam tambo disebutkan, sebagai ahli waris kekuasaan Iskandar Zulkarnain, ia dianggap salah satu dari tiga penerus kekuatan besar di dunia pada zamannya, bersama Tiongkok dan Kekhalifahan di Turki.
Ambisinya adalah memelihara kebesaran kerajaannya dan menjelajahi wilayah Melayu, mulai dari Palembang hingga Minangkabau.
Dalam versi Tambo Minangkabau, kedatangan Sang Sapurba disertai oleh empat pembantu yang melambangkan hewan, seperti Harimau Campo, Kucing Siam, Kambing Hutan, dan Anjing Mu’alim.
Meskipun dinobatkan sebagai raja, Sang Sapurba hanya menjadi simbol, sedangkan pemerintahan sebenarnya masih dipegang oleh Datuk Suri Dirajo.
Ia kemudian membangun pusat pemerintahan di Lagundi Nan Baselo, yang kini dikenal sebagai Pariangan.
6. Puti Bungsu
Dalam cerita rakyat Minangkabau Sumatera Barat, terdapat tokoh bernama Puti Bungsu, yang merupakan salah satu dari tujuh putri yang konon datang dari langit.
Ia diceritakan sebagai wanita yang hidup dalam legenda tersebut.
Selain itu, dalam cerita tersebut, Puti Bungsu juga dianggap sebagai salah satu istri dari Raja Aniayo, yang terkenal zalim, licik, dan sewenang-wenang dalam pemerintahannya.
Raja Aniayo dikenal karena memiliki kebiasaan beristri banyak dan memperlakukan istrinya dengan kejam, termasuk Puti Bungsu.
Menurut narasi rakyat, Puti Bungsu memiliki enam saudara laki-laki.
Setelah menikah, saudara-saudara Puti Bungsu pergi merantau untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Akibat kejahatan Raja Aniayo, Puti Bungsu akhirnya dibuang ke hutan ketika ia sedang hamil enam bulan, dan di sinilah ia harus melahirkan anaknya.
Dalam cerita rakyat Sumatera Barat, terdapat dua pandangan mengenai Puti Bungsu sebagai putri turun dari langit dan sebagai istri dari seorang raja yang kejam.
Enam tokoh Minangkabau yang terdapat dalam Tambo Minangkabau diatas bisa jadi menawarkan beragam cerita dan kisah yang menjadi sumber pembelajaran dan pengetahuan baru bagi tiap generasi di Minangkabau.
Editor: Nanda Bismar