Close Menu

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

    What's Hot

    Kedai Kopi Ming Hoa, Bakmi Goreng dan Kopi Susu Autentik Meriah di Padang

    13/06/2025

    9 Situs dan Bangunan Cagar Budaya di Batusangkar

    13/06/2025

    5 Studio Photo di Kota Bukitinggi untuk Abadikan Moment Spesial

    12/06/2025
    Facebook X (Twitter) Instagram
    Facebook X (Twitter) Instagram
    West Sumatra 360
    Saturday, June 14 Login
    • Home
      • About
      • Privacy Policy
      • UMKM
    • Culture
    • To Do
    • Food
    • Travel Tips
    West Sumatra 360
    Home»Wisata»Edukasi»9 Situs dan Bangunan Cagar Budaya di Batusangkar
    Edukasi

    9 Situs dan Bangunan Cagar Budaya di Batusangkar

    Novi Fani RovikaBy Novi Fani Rovika13/06/2025
    Share Facebook Twitter Pinterest Copy Link LinkedIn Tumblr Email Telegram WhatsApp
    9 Situs dan Bangunan Cagar Budaya di Batusangkar
    Masjid Raya Lima Kaum - Photo Novi Rovika
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Situs dan Bangunan Cagar Budaya yang ada di Batusangkar menjadi bukti eksisnya budaya Minangkabau sejak dahulu kala di kawasan ini.

    Terutama sisa kejayaan Pagaruyung yang masih terpelihara dalam bentuk situs-situs sejarah dan bangunan kuno yang kini ditetapkan sebagai Cagar Budaya.

    Seperti masjid tua yang ikonik hingga sisa benteng kolonial dan istana kerajaan, Batusangkar seakan menjadi museum terbuka yang mengisahkan kejayaan masa lalu Minangkabau.

    Berikut adalah beberapa situs dan bangunan bersejarah yang menjadi warisan budaya tak ternilai yang dapat dijumpai di Kota Batusangkar.

    1. Masjid Raya Lima Kaum

    Masjid Raya Lima Kaum merupakan salah satu masjid tertua di Minangkabau yang dibangun menjelang akhir abad 17.

    Berlokasi di Jorong Tigo Tumpuak, Nagari Limo Kaum, Kabupaten Tanah Datar, masjid ini diperkirakan dibangun pada tahun 1710.

    Arsitektur masjid sangat dipengaruhi oleh corak Minangkabau yang mencerminkan akulturasi budaya lokal dan Islam.

    Dengan bentuk atap merupakan sinkretisme, menjadi perpaduan antara Hindu-Budha dengan Islam.

    Masjid ini berdiri di atas tanah berbentuk segi-empat, menggantikan bangunan pagoda yang telah lama ditinggalkan penganutnya karena memeluk Islam.

    Selain memiliki hubungan dengan agama Hindu-Budha, masjid ini memiliki banyak tiang penyangga hingga dikenal dengan masjid seribu tiang.

    Pada bagian atap masjid, dibuat berundak-undak sebanyak lima tingkat dengan permukaan atap yang tidak datar melainkan cekung yang berfungsi untuk mengalirkan air hujan ke bawah.

    Kemudian tingkatan teratas terdapat bangunan (puncak) berdenah segi delapan dengan beberapa jendela kaca dengan atap berbentuk limas.

    Hal menarik dari masjid ini adalah dapat melihat keindahan Danau Singkarak dari bangunan bagian atasnya.

    Sebagai bangunan bersejarah yang menjadi Cagar Budaya, Masjid Raya Lima Kaum menjadi saksi bisu peralihan kekuasaan dan berkembangnya Islam di tanah Minang.

    Tidak hanya sebagai tempat beribadah, masjid ini juga menjadi pusat kegiatan keagamaan sekaligus simbol identitas spiritual masyarakat Lima Kaum.

    2. Benteng Van der Capellen

    Benteng Van der Capellen adalah benteng peninggalan Belanda yang berdiri di Kota Batusangkar, Sumatera Barat, Indonesia.

    Dibangun semasa Perang Padri, Benteng Van der Capellen dahulunya merupakan pusat kekuasaan dan pertahanan Kolonial Belanda di pedalaman Minangkabau.

    Nama Van der Capellen Diambil dari nama seorang Gubernur Jenderal Belanda yang memerintah disana pada periode 1819 – 1826, Yaitu Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen.

    300*250

    Untuk kamu ketahui bahwa, Fort Van der Capellen juga merupakan sebutan lama untuk Kota Batusangkar.

    Sejarah Benteng Van der Capellen tidak lepas dari peristiwa Perang Padri yang berlangsung pada abad ke – 19.

    Dimana benteng ini dibangun oleh Belanda sebagai salah satu pusat pertahanannya, dalam upaya membantu Raja Pagaruyung yang berkuasa kala itu, melawan pasukan Kaum Padri.

    Keberadaannya menunjukkan babak penting interaksi dan perlawanan rakyat Minangkabau terhadap kolonialisme.

    Pada kompleks Benteng Van der Capellen terdapat asrama prajurit, penjara, dan banyak bangunan lainnya yang masih berdiri hingga kini.

    Benteng ini masih berdiri kokoh dengan bentuk empat persegi dan parit pertahanan, saat ini, sebagian fungsinya digunakan sebagai Markas Kodim 0307 Tanah Datar.

    Sebagai salah satu bangunan paling bersejarah di Tanah Datar, Benteng Van der Capellen ditetapkan sebagai benda cagar budaya.

    3. Gedung Indo Jalito

    Gedung Indo Jolito adalah salah satu bangunan berarsitektur kolonial peninggalan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia yang terletak di Batusangkar.

    Gedung megah ini dibangun pada masa Kolonial Belanda antara tahun 1822 – 1824, sewaktu terjadinya Perang Padri, sebagai tempat tinggal pejabat Belanda.

    Kemudian digunakan oleh pemerintah Jepang sebelum akhirnya diwariskan kepada pemerintah Indonesia. 

    Bangunan ini pernah menjadi kediaman residen Belanda yakni Godert Alexander Gerard Philip van der Capellen.

    Namanya yang unik, Indo Jalito, berasal dari bahasa Belanda yang mengalami pelafalan lokal.

    Bangunan ini kini digunakan sebagai rumah dinas Bupati Tanah Datar dan telah ditetapkan sebagai benda Cagar Budaya.

    Pembagian ruangannya pada sisi sebelah barat merupakan ruang tamu dan sisi sebelah timur terbagi dalam dua ruangan, sedangkan bagian belakang merupakan ruangan makan.

    Tidak jauh dari Gedung Indo Jolito, terdapat Benteng Van der Capellen yang kini difungsikan sebagai bangunan pusat informasi pariwisata Kabupaten Tanah Datar.

    Bangunan yang mencerminkan gaya arsitektur Eropa klasik ini, dipadukan dengan nuansa tropis dengan beranda lebar, langit-langit tinggi, dan jendela-jendela besar.

    Gedung ini juga menjadi lambang transisi kekuasaan dan tetap dijaga sebagai simbol pemerintahan dan warisan sejarah.

    9 Situs dan Bangunan Cagar Budaya di Batusangkar
    Makam Ustano Rajo Alam Pagaruyung Photo Novi Rovika

    4. Makam (Ustano) Rajo Alam, Pagaruyung

    Komplek Ustano Rajo Alam Pagaruyung merupakan lokasi pemakaman raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Pagaruyung.

    Kata “ustano” berasal dari bahasa Minang yang berarti makam yang dihormati atau disakralkan.

    Jika Istana Basa adalah tempat tinggal para raja dan keluarganya, maka Ustano Rajo Alam adalah tempat peristirahatan abadi mereka.

    Komplek ini memuat 13 makam yang berjejer rapi, dinanungi oleh pohon beringin yang rimbun.

    Tidak seperti nisan makam penganut Islam pada umunya, nisan di Ustano Rajo Alam berupa batu besar berbentuk menhir.

    Ustano menjadi bukti otentik warisan kerajaan Islam Minangkabau, yang menjalankan sistem pemerintahan dengan gelar Rajo Tigo Selo: Rajo Alam, Rajo Ibadat, dan Rajo Adat.

    Masing-masing raja memimpin aspek berbeda dari kehidupan masyarakat—spiritual, hukum adat, dan kenegaraan.

    Tokoh penting yang dimakamkan di sini adalah Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung yang menjabat pada masa kolonial Belanda.

    Situs Cagar Budaya ini bukan merupakan objek wisata religi, melainkan salah satu destiansi wisata sejarah sebagai rangkaian dari trip sejarah (histourism) di Kabupaten Tanah Datar.

    Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Istana Basa Pagaruyung dan Situs Batu Basurek Adityawarman.

    9 Situs dan Bangunan Cagar Budaya di Batusangkar
    Komplek Prasasti Batu Basurek Adityawarman Prasasti Pagaruyung

    5. Komplek Prasasti (Batu Basurek) Adityawarman (Prasasti Pagaruyung)

    Situs Batu Basurek merupakan tempat dikumpulkan dan disatukannya prasasti – prasasti yang dikeluarkan oleh Adityawarman.

    Dimana tadinya prasasti – prasasti ini tersebar di beberapa tempat di Kabupaten Tanah Datar dan ditemukan secara terpisah.

    Diantaranya ditemukan di Bukit Gombak, Kec. Tanjung Emas, Kecamatan Pariangan, Kecamatan Rambatan dan Kecamatan Lima Kaum.

    Hingga hari ini, belum ditemukan adanya literature yang membahas kapan waktunya prasasti – prasasti ini ditemukan.

    Dalam komplek tersebut terdapat 9 prasasti yang tersusun dalam sebuah cungkup yang dibangun di Pagaruyung.

    Kumpulan prasasti yang oleh masyarakat lokal disebut “Batu Basurek” tersebut, ditulis dalam huruf Jawa Kuno dengan bahasa Sanskerta dan sedikit menggunakan bahasa Malayu Kuno.

    Prasasti – prasasti ini diyakini berasal dari masa pemerintahan Adityawarma, pendiri Kerajaan Pagaruyung yang memiliki pengaruh kuat dari Majapahit dan budaya Hindu – Buddha.

    Situs ini pun diberi nama “Batu Basurek Adityawarman”, atau “Prasasti Pagaruyung”.

    Karena lokasi dibangunnya komplek tempat menampung kumpulan prasasti tersebut, adalah Nagari Pagaruyung, Kabupaten Tanah Datar.

    Dari prasasti – prasasti tersebut diperoleh informasi penting tentang struktur pemerintahan, agama, hingga konflik internal di masa lalu.

    Prasasti yang ada di dalamnya mencakup Prasasti Pagaruyung I, yang terletak di deretan paling ujung sebelah selatan.

    Selanjutnya berturut – turut ke arah Utara adalah Prasasti Pagaruyung II, III, IV, V, VI, VII, dan VIII.

    Sedangkan prasasti yang ke IX berupa fragmen batu andesit warna abu – abu sekarang disimpan di Ruang Koleksi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar.

    9 Situs dan Bangunan Cagar Budaya di Batusangkar
    Komplek Prasasti Batu Basurek Adityawarman Prasasti Pagaruyung

    6. Prasasti Kubu Rajo I

    Prasasti Kuburajo I dipahatkan pada batu persegi, ditulis dengan huruf Jawa Kuno dengan bahasa Sanskerta.

    Penulisan dari manuskrip pada prasasti ini tidak terstruktur, dan banyak keanehan dalam tata bahasanya.

    Teks manuskrip tersebut terdiri dari kata-kata tunggal dan majemuk tanpa struktur kalimat yang lengkap.

    Isi yang termuat dalam prasasti Kuburajo I berupa suatu keterangan genealogis atau garis keturunan Raja Adityawarman.

    Antara lain menyebutkan: ‘Adwaya-warmma mputra kanakamedinindra’ yang berarti Adwayawarma berputra Raja Tanah Emas.

    Dari catatan sejarah dan naskah Jawa Kuno, diketahui bahwa Adityawarman merupakan keturunan kerajaan Malayu Dharmasraya.

    Adwayabrahma adalah pejabat dari Kerajaan Singasari yang dikirim Kertanegara untuk mengiringi pengiriman arca Amoghapasa ke Suwarnabhumi.

    Sedangkan kalimat kanakamedini diidentikkan sebagai Swarnnabhumi atau swarnnadwipa yang mengacu pada arti tanah emas.

    Dengan demikian sebutan raja tanah emas ini diperuntukkan bagi Adityawarman.

    7. Prasasti Kuburajo II

    Prasasti Kuburajo II disebut juga sebagai Prasasti Surya, karena ditulis di sekeliling pahatan matahari yang diletakkan bagian tengah batu.

    Tulisan pada prasasti tersebut sudah cukup aus atau sudah menipis bagian hurufnya yang ditulis dengan menggunakan bahasa campuran, yaitu Sansekerta dan Jawa Kuno.

    Beberapa kata yang berhasil dibaca antara lain menyebut “rama”, yang berarti ketua desa, atau bisa pula berarti yang lain, sesuai dengan konteks kalimatnya.

    “Puri” dan “sthana” bisa berarti tempat peristirahatan di istana dan “srima” yang merupakan penggalan dari kata sri maharaja.

    Prasasti ini tidak memiliki angka tahun, tetapi didukung oleh dua buah batu yang bergambar surya (prasasti Surya II), berupa pahatan tujuh helai daun, dan tiga buah kuncup bunga.

    Batu berhias surya yang berada di sisi barat ini merupakan batu yang mengandung angka tahun, yaitu berupa piktogram atau gambar yang mengandung nilai angka tertentu.

    Gambar ini merupakan Candrasengkala, yang memiliki dua suku kata yaitu Candra yang artinya pernyataan, dan Sengkala yang artinya angka tahun.

    Dalam istilah umum, Candrasengkala dapat berarti pernyataan berupa angka tahun.

    Candrasengkala terdiri dari dua macam, yaitu Suryasengkala dan Candrasengkala, dimana Suryasengkala digunakan untuk penghitungan tahun berdasarkan putaran matahari.

    Candrasengkala dalam istilah khusus adalah Candrasengkala yang digunakan untuk penghitungan tahun yang berdasarkan pada perputaran bulan (Candra) terhadap bumi.

    Contohnya adalah penghitungan tahun Saka / Jawa dan tahun Hijriyah.

    8. Istano Silinduang Bulan

    Silinduang Bulan adalah nama yang diberikan kepada Istana Raja Pagaruyung setelah dipindahkan dari Ulak Tanjuang Bungo, ke Balai Janggo pada tahun 1550.

    Adapun yang memindahkan adalah Daulat Yang Dipertuan Raja Gamuyang Sultan Bakilap Alam (Sultan Alif Kalifatullah Johan Berdaulat Fil’Alam I).

    Tahun tersebut sebagai penanda awal diberlakukannya secara resmi hukum syariat Islam di seluruh kerajaan Pagaruyung seluruh hukum yang bersumber dari agama Buddha Tantrayana.

    Istano Silinduang Bulan dibangun kembali pada tahun 1750, karena bangunan lama telah tua dan mulai runtuh.

    Walaupun merupakan rekonstruksi, Istano Silinduang Bulan dibangun di lokasi yang sama dengan istana leluhur perempuan bangsawan Pagaruyung.

    Kemudian istana ini berfungsi sebagai rumah bagi Bundo Kanduang, tokoh sentral dalam adat matrilineal Minangkabau.

    Arsitekturnya khas, menyerupai rumah gadang dengan lima gonjong, ukiran halus penuh makna filosofi, dan bahan bangunan kayu berkualitas tinggi.

    Fungsi Istano Silinduang Bulan bukan hanya sebagai museum adat, tetapi juga sebagai tempat pelestarian nilai-nilai perempuan Minang dalam tatanan sosial dan budaya.

    Situs peninggalan sejarah yang menjadi bangunan Cagar Budaya di Tanah Datar ini dapat dilihat di Nagari Pagaruyung.

    Batu Batikam - Photo @Fauzi ST
    Batu Batikam Photo Fauzi ST

    9. Batu Batikam

    Batu Batikam adalah salah satu benda cagar budaya bersejarah di Jorong Dusun Tuo, Nagari Limo Kaum, Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar.

    Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia, Batu Batikam berarti batu yang tertusuk karena terdapat lubang di tengah batu yang merupakan bekas dari tusukan keris Datuak Parpatiah Nan Sabatang.

    Luas situs cagar budaya Batu Batikam adalah 1.800 meter persegi yang dahulunya berfungsi sebagai medan nan bapaneh atau tempat bermusyawarah kepala suku.

    Susunan batu di sekeliling batu batikam seperti sandaran tempat duduk, berbentuk persegi panjang melingkar.

    Sedangkan pada bagian tengah terdapat batu batikam dari bahan batuan Andesit dengan ukuran batu sekitar 55 x 20 x 40 sentimeter, yang bentuk hampir segitiga.

    Prasasti Batu Batikam menjadi salah satu bukti keberadaan Kerajaan Minangkabau di zaman Neolitikum.

    Batu batikam merupakan batu tertusuk yang melambangkan pentingnya perdamaian dan musyawarah-mufakat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

    Menurut cerita yang diyakini masyarakat setempat, Batu Batikam merupakan bekas tusukan keris milik Datuak Parpatiah Nan Sabatang, sebagai simbol perdamaian masa itu.

    Cerita lain menyatakan bahwa peninggalan sejarah ini dahulu kala merupakan suatu tempat musyawarah para kepala suku.

    Hal lain yang menambah keunikan Batu Batikam adalah adanya sebuah pohon beringin yang sangat besar di sekitar kawasan tersebut.

    Selain itu, lubang pada batu batikam tersebut juga dapat disentuh dan dilihat langsung oleh pengunjung.

    Baca Juga Day Trip dari Kota Padang: Padang – Sawahlunto & Batusangkar

    Cagar Budaya, Pilar Identitas Minangkabau

    Keberadaan situs dan bangunan bersejarah yang menjadi benda Cagar Budaya, bukan sekadar objek wisata atau catatan masa lalu.

    Melalui upaya pelestarian, revitalisasi, dan pemanfaatan sebagai destinasi edukatif, Kota Batusangkar terus membuktikan diri sebagai kota warisan budaya yang hidup.

    Bagi siapa pun yang ingin memahami sejarah panjang, kebijaksanaan adat, dan peradaban lokal yang tangguh, Batusangkar adalah tempat yang tak boleh dilewatkan.

    Tips Berkunjung:

    • Gunakan jasa pemandu lokal untuk penjelasan mendalam tentang tiap situs.
    • Hormati nilai-nilai adat saat memasuki kawasan sakral seperti makam raja.
    • Waktu terbaik berkunjung adalah pagi atau sore hari saat suasana lebih teduh dan tenang.
    Editor: Nanda Bismar
    Share. Facebook Twitter WhatsApp Telegram LinkedIn Copy Link
    Novi Fani Rovika
    • Instagram

    Related Posts

    7 Peralatan Memasak Tradisional di Sumatera Barat yang Eksis Hingga Sekarang

    12/06/2025

    Pura Jagatnatha: Satu-Satunya Pura Hindu di Sumatera Barat

    11/06/2025

    Mengenal 3 Gelar dan Penghargaan bagi Laki-Laki di Pariaman

    08/06/2025
    Add A Comment

    Comments are closed.

    Top Posts

    Kedai Kopi Ming Hoa, Bakmi Goreng dan Kopi Susu Autentik Meriah di Padang

    13/06/2025

    Danau Maninjau Pacu Biduak Open Race 2022

    01/12/2022

    5 Things To Do in Mentawai Islands

    03/12/2022

    5 Kebun Satwa di Sumatera Barat yang Wajib Kamu Kunjungi

    04/12/2022

    6 Cafe Dengan Pemandangan Samudera Hindia di Kota Padang

    05/12/2022

    Subscribe to Updates

    Get the latest tech news from FooBar about tech, design and biz.

    Search hotels and more...

    Destination

    Check-in date

    Sat 14 Jun 2025

    Check-out date

    Sun 15 Jun 2025
    Booking.com
    Most Popular

    Kedai Kopi Ming Hoa, Bakmi Goreng dan Kopi Susu Autentik Meriah di Padang

    13/06/2025

    Danau Maninjau Pacu Biduak Open Race 2022

    01/12/2022

    5 Things To Do in Mentawai Islands

    03/12/2022
    Our Picks

    Kedai Kopi Ming Hoa, Bakmi Goreng dan Kopi Susu Autentik Meriah di Padang

    13/06/2025

    9 Situs dan Bangunan Cagar Budaya di Batusangkar

    13/06/2025

    5 Studio Photo di Kota Bukitinggi untuk Abadikan Moment Spesial

    12/06/2025

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

    Search hotels and more...

    Destination

    Check-in date

    Sat 14 Jun 2025

    Check-out date

    Sun 15 Jun 2025
    Booking.com
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • About
    • Privacy Policy
    • Our Team
    © 2025 WestSumatra360.com. Designed by Hendri Simon.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

    Sign In or Register

    Welcome Back!

    Login to your account below.

    Lost password?