Sama halnya dengan daerah lainnya di Indonesia, di Sumatera Barat khususnya adat atau tradisi pernikahan juga memiliki berbagai keunikannya.
Pernikahan juga merupakan satu tradisi yang berarti sepasang pria dan wanita sepakat ingin hidup bersama dengan satu ikatan secara sah.
Oleh karena itu, pernikahan di Minangkabau merupakan salah satu peristiwa yang sakral dengan berbagai persiapan sesuai adat Minang.
Dalam perjalanannya, terdapat beberapa tradisi unik yang mewarnai adat pernikahan yang ada di Minangkabau, sehingga menjadi ciri khas tersendiri.
Nah berikut adalah ulasan menariknya dari West Sumatra 360, mengenai keunikan berbagai tradisi yang ada di Sumatera Barat khusunya budaya Minangkabau,
1. Tradisi Uang Japuik dan Uang Hilang di Pariaman.
Pariaman selalu memberikan hal yang berbeda, mulai dari tradisi tabuiknya yang begitu ikonik, hingga ke tradisi perkawinan juga terdapat hal yang unik.
Tradisinya tersebut disebut dengan “Uang Japuik dan uang hilang”.
Uang japuik adalah pemberian finansial yang diberikan oleh keluarga perempuan kepada calon suami sebelum pernikahan.
Hal ini harus dibedakan dengan mahar, yang diberikan pada saat akad nikah.
Sebagai hasilnya, pengantin pria masih diharapkan memberikan mahar kepada pengantin wanita.
Selain itu, ketika keluarga perempuan mengunjungi keluarga calon suami, maka keluarga calon suami harus menggantikan uang japuik tersebut dengan barang-barang yang umumnya lebih berharga daripada jumlah uang japuik yang diberikan oleh keluarga perempuan
Besaran uang japuik kepada pihak pengantin laki-laki tergantung dengan gelar yang disandangnya.
Bisa berupa gelar kehormatan, adat dan juga pendidikan. Semakin tinggi tingkatan gelar seseorang, maka semakin mahal juga uang jemputan yang dikeluarkan oleh pihak Perempuan.
Kemudian Uang Hilang, mungkin terdengar istilah ini, karena biasanya yang paling terkenal itu dan menjadi perbincangan dalam perkawinan dengan orang pariaman hanya uang japuik saja.
Uang hilang, di sisi lain, adalah pemberian finansial dari keluarga perempuan kepada keluarga calon suami.
Perbedaannya adalah bahwa uang hilang tetap menjadi milik keluarga calon suami, karena dianggap sebagai kontribusi untuk biaya dapur.
Dapur di sini merujuk pada persiapan makanan yang disajikan saat kunjungan pengantin wanita ke rumah pengantin pria, yang dikenal sebagai acara “manjaran”.
Uang hilang digunakan untuk mengadakan pesta di rumah orangtua pengantin pria.
Selain itu, dalam tradisi bajapuik, uang hilang juga digunakan untuk menambah uang yang akan dijemput (paragiah jalang), membeli keperluan bagi pengantin pria seperti pakaian, sepatu, dan lainnya.
Serta dapat digunakan sebagai modal untuk perjalanan hidup bersama setelah pernikahan.
2. Maisi Sasuduik Dari Payakumbuh
Tradisi maisi sasuduik di Payakumbuh atau Kabupaten Limapuluh Kota memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan tradisi di Pariaman.
Di daerah Payakumbuh, tradisi maisi sasuduik membalikkan peran dari uang japuik, dimana seorang laki-laki yang akan membeli perempuan tersebut atau mengirim uang kepada perempuan tersebut.
Maisi sasuduik adalah upaya membayar sejumlah uang kepada calon pengantin perempuan untuk melengkapi isi kamar pengantin perempuan, termasuk lemari, kasur, selimut, bantal, dan perlengkapan lainnya.
Selain pembelian barang-barang ini, kamar pengantin perempuan juga dihiasi, dan ada juga yang hanya memberikan uang kepada perempuan, yang nantinya akan digunakan untuk membeli barang-barang tersebut.
Dalam tradisi maisi sasuduik ini, tidak ada tuntutan untuk membeli barang-barang mahal, karena semuanya tergantung pada kemampuan finansial laki-laki tersebut.
Uang tersebut akan digunakan untuk membeli barang-barang yang sangat diperlukan saat mereka memulai hidup berumah tangga.
Tradisi maisi sasuduik biasanya dilakukan sebelum pernikahan resmi, karena ini adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki sebelum dia dapat melamar seorang perempuan.
Pernikahan biasanya tidak akan dilangsungkan sebelum tradisi ini terpenuhi.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tradisi maisi sasuduik ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat pernikahan.
Tidak ada hukuman atau sanksi yang diberikan kepada mereka yang tidak melaksanakan tradisi tersebut.
3. Tradisi Uang Siriah di Kabupaten Pasaman
Kemudian juga terdapat tradisi yang unik dari Kabupaten Pasaman yaitu “Uang Siriah”.
Tradisi ini dilakukan sebelum upacara pernikahan dimulai, masyarakat di Nagari Langsat Kadap, Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten Pasaman memiliki tradisi khitbah atau peminangan yang unik yang mereka sebut sebagai Timbang Tando.
Setiap wilayah memiliki cara berbeda dalam melaksanakan khitbah ini. Proses Timbang Tando dijalankan pada malam hari yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pihak laki-laki, termasuk calon pengantin pria, orang tua calon pengantin wanita, datuak (pemimpin adat), dan niniak mamak (anggota keluarga yang memiliki peran penting) berkumpul di rumah calon pengantin wanita.
Momen pertemuan ini adalah saat pemberian tando, yaitu selembar kain sarung dari pihak laki-laki dan sehelai kain panjang dari pihak perempuan.
Kedua kain tersebut menjadi bukti persetujuan bahwa pernikahan akan dilangsungkan.
Dalam tradisi ini, kedua calon pengantin juga saling berjanji, dengan ungkapan adat yang mengatakan bahwa “kok duduak indo ke bokisar, kok togak indo ke bopaliang, artinya lah baikek kayu jo tali kok lah boikek janji jo kato”, yang dalam konteks ini artinya mereka telah terikat oleh janji dan perjanjian.
Dengan demikian, pertunangan antara laki-laki dan perempuan menjadi suatu kesepakatan yang mengikat, dan mereka telah memulai perjalanan menuju pernikahan yang akan datang.
Dalam pertemuan tersebut, pihak laki-laki juga memberikan uang siriah dengan jumlah yang telah ditetapkan sesuai tradisi.
Uang siriah ini memiliki peran penting dalam pelaksanaan pernikahan. Secara sederhana, jika uang siriah tidak diserahkan, maka pernikahan akan tertunda.
Jumlah uang siriah ini adalah biasanya sebesar Rp. 600.000, dan ketentuan ini berlaku untuk semua pihak.
Dengan uang siriah tersebut ditujukan kepada niniak mamak dari calon pengantin perempuan.
Penerima uang siriah meliputi niniak mamak, imam masjid, tongku, dan ketua sumando.
Praktik ini telah berlangsung sejak zaman nenek moyang orang Pasaman dan merupakan bagian integral dari adat perkawinan di nagari Langsat Kadap, Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten Pasaman, yang telah diwariskan dan dipertahankan oleh masyarakat setempat.
Baca Juga Rangkaian Prosesi Pernikahan Adat Minangkabau
4. Alek Lapan Uang dari Daerah Guguak Malalo
Tradisi alek lapan uang merupakan suatu tradisi dari masyarakat Nagari Guguak Malalo agar perkawinan diakui secara sah oleh adat.
Jika tidak dilaksanakan maka akan ada sanksi adat yang akan diberlakukan.
Alek lapan uang yaitu sebuah tradisi pesta pernikahan yang mempertemukan dua kepala suku atau niniak mamak kedua mempelai di rumah mempelai Perempuan.
Hal ini dilakukan untuk membicarakan tentang kedua keponakan dari kepala suku atau niniak mamak yang akan melaksanakan pesta pernikahan.
Tujuan dari tradisi alek lapan uang yaitu memberikan peranan baru bagi mamak agar bertanggung jawab untuk membina rumah tangga keponakannya.
Jadi secara sederhana dapat dipahami bahwa alek lapan uang ini adalah akad antara niniak mamak yang akan menciptakan hak dan kewajiban anak dan keponakannya yang akan melangsungkan pernikahan.
Sebab jika terjadi masalah diantara keduanya di kemudian hari, mamaklah yang akan menjadi mediator untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Menariknya, Alek lapan uang harus dilakukan sekalipun keluarga calon mempelai berasal dari daerah lain sekalipun.
Dalam alek lapan uang juga pihak perempuan wajib membayar uang kepada niniak mamak laki-laki dan jika berasal dari daerah lain diluar Malalo harus membayarnya dua kali lipat.
Jika tidak melaksanakan alek lapan uang atau uang wajib supaya diakui secara adat maka akan mendapatkan sanksi sebagai berikut:
- Baik laki-laki maupun perempuan di Nagari Guguak Malalo, ketika ingin mengunjungi keluarga kerabat, tidak akan mendapatkan perlakuan khusus seperti ketika seseorang melaksanakan alek salapan uang pada saat pernikahan.
- Mereka diterima dengan tangan terbuka di rumah keluarga laki-laki maupun perempuan.
- Bagi mereka yang telah merantau dan ingin kembali ke kampung halaman, tidak diperbolehkan tinggal dan bermalam di rumah keluarga laki-laki atau perempuan yang menjadi mempelai. Namun, mereka tetap dapat menjalin hubungan baik dengan keluarga tersebut.
- Saat seseorang menikah dan ingin menyambangi rumah mertua atau surau dengan membawa hidangan, makanan tersebut hanya diletakkan di belakang pintu dan tidak dimakan.
- Jika ada pasangan yang ingin menikah di antara penduduk Nagari Guguak Malalo dan orang tua mereka tidak mengikuti adat alek salapan uang, maka pesta pernikahan tidak akan dapat diadakan sesuai dengan tradisi lokal.
- Di masyarakat ini, ada larangan bagi pasangan yang sudah menikah untuk tinggal di rumah orang tua mereka, baik itu keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan. Hal ini menjadi bagian dari kebijakan sosial yang berlaku.
Demikianlah beberapa tradisi yang cukup unik dan juga menarik untuk diketahui dari tradisi pernikahan di Sumatera Barat khususnya budaya Minangkabau.
Ikuti terus kami untuk mendapatkan informasi menarik lainnya seputar Sumatera Barat!
Editor: Nanda Bismar