Pura Jagatnatha menjadi satu-satunya tempat ibadah umat Hindu di Padang, ditengah dominasi budaya dan religiusitas Islam di Sumatera Barat
Berdirinya sebuah tempat suci yang tenang dan agung sebagai simbol keteguhan dan toleransi di tanah Minangkabau.
Tersembunyi di dalam Komplek TNI AU Sutan Sjahrir, Parupuk Tabing, pura ini menjadi saksi bisu perjuangan panjang minoritas Hindu Sumatera Barat untuk mendapatkan ruang ibadah.
Pura ini mungkin tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas, namun bagi umat Hindu di Sumatera Barat Pura Jagatnatha menjadi simbol keteguhan iman dan toleransi yang nyata.
Sebagai satu-satunya pura Hindu di provinsi ini, Pura Jagatnatha bukan hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga menjadi rumah spiritual, ruang berkumpul, dan penanda eksistensi.
Perjuangan yang Dimulai dari “Sanggah Cerucuk”
Sanggah Cerucuk merupakan sebutan untuk bangunan kecil simbolik di pinggir jalan Prof. Hamka, sebagai penanda bahwa itu adalah sebuah tempat ibadah.
Namun karena letaknya yang mencolok dan kurang diterima secara umum, bangunan itu pun kemudian dipindahkan ke lokasi yang lebih tersembunyi.
Yaitu berada di dalam Kawasan Lanud yang kemudian menjadi Pura Jagatnatha utuh sebagai tempat ibadah seperti yang dikenal hari ini.
Perjalanan Pura Jagatnatha tidak dimulai dengan megahnya gerbang pura atau keramaian upacara keagamaan.
Semua berawal dari meningkatnya mobilitas penduduk, termasuk perpindahan pegawai negeri, pelajar, hingga personel militer yang ditempatkan di wilayah ini.
Hingga di awal tahun 1990-an, jumlah umat Hindu di Kota Padang dan Sumatera Barat pun mulai bertambah.
Namun, ditengah dominasi masyarakat Muslim Minangkabau, mereka tidak memiliki tempat ibadah permanen.
Ibadah besar seperti Galungan dan Nyepi pun hanya bisa dilakukan secara terbatas dan seringkali berpindah – pindah tempat atau dilakukan secara tertutup.
Kisah berdirinya Pura Jagatnatha dimulai pada tahun 1992, dimana komunitas Hindu di Padang yang jumlahnya kian meningkat, mengalami kesulitan untuk melaksanakan upacara keagamaan.
Ketiadaan pura membuat hari-hari besar umat Hindu terlewati begitu saja, tanpa prosesi sakral yang seharusnya mengiringi.
Upaya mendirikan pura pun dilakukan, dimana pada awalnya sempat akan dibangun di kawasan Bukit Gado – Gado, gagal karena tidak mendapat izin dari masyarakat dan pemerintah setempat.
Harapan justru datang dari lingkungan militer, salah seorang anggota TNI AU di Lanud Tabing yang kebetulan juga adalah pemeluk Hindu, mengajukan permohonan pendirian pura.
Permohonan tersebut mendapat sambutan dari Danlanud saat itu, Chareudin Rai, yang kemudian meneruskannya ke Markas Besar TNI AU.
Tahun 1995 pembangunan pun dimulai dan baru benar – benar selesai di tahun 1997 kemudian pada tahun 1998 Pura Jagatnatha pun diresmikan.

Struktur Suci Tri Mandala: Arsitektur Sakral di Tanah Rantau
Secara arsitektural, Pura Jagatnatha yang dibangun di atas lahan seluas 35 x 55 meter persegi, mengikuti konsep Tri Mandala.
Sebuah prinsip ruang dalam kepercayaan Hindu Bali yang membagi area pura ke dalam tiga bagian utama, yaitu sebagai berikut:
- Jabe Sisi: Merupakan halaman paling luar dari pura, pada bagian ini umat biasanya berkumpul sebelum memulai prosesi persembahyangan. Tersedia halaman terbuka dan lapang, menjadi tempat transisi dari dunia luar menuju alam spiritual.
- Jabe Tengah: Area ini adalah ruang ibadah pendukung, tempat terdapatnya Bale Kulkul, bangunan pendopo yang dilengkapi dengan kulkul atau kentongan. Disinilah dilangsungkan upacara Mecaru, yaitu persembahan kepada Dewa Wisnu, Sang Pemelihara alam. Suara kulkul yang dipukul adalah penanda akan dimulainya ritual, yang membangkitkan kesadaran akan hubungan manusia dengan semesta.
- Jabe Utama (Utama Mandala): Bagian terdalam dan tersuci dari pura, tempat berdirinya Padmasana, yakni simbol utama persembahan kepada Dewa Brahma, Sang Pencipta. Disini, keheningan menjadi nyata dengan aroma dupa dan gemuruh kidung mantram yang menyatu dengan angin, menciptakan suasana spiritual yang menggetarkan.
Ketiga bagian diatas membentuk struktur sakral yang tidak hanya simbolis, tetapi juga fungsional dalam pelaksanaan ibadah Hindu.
Ruang – ruang yang terdapat di dalam pura tak hanya sekedar sebuah struktur fisik, melainkan juga simbol spiritual perjalanan jiwa umat Hindu dalam mencapai harmoni dengan Sang Pencipta.

Menjadi Rumah bagi Komunitas Kecil
Saat ini, terdapat sekitar 95 kepala keluarga penganut Hindu di Sumatera Barat, mereka terdiri dari para pelajar, pekerja, maupun anggota TNI yang ditempatkan di Padang.
Keberadaan Pura Jagatnatha menjadi pusat spiritual dan sosial bagi mereka, saat ini Pura dikelola secara swadaya oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sumatera Barat.
Pura Jagatnatha hadir sebagai simbol harmoni keberagaman yang diperjuangkan dengan segenap kesabaran.
Keberadaannya di Kota Padang menjadi oase spiritual yang unik, di tengah kultur Minangkabau yang kuat dengan nilai-nilai Islam.
Keberadaan Pura Jagatnatha Mulai dikenal Luas
Seiring waktu, eksistensi Pura Jagatnatha mulai dikenal masyarakat luas, banyak yang tidak menyangka bahwa di tengah Kota Padang berdiri sebuah pura dengan ornament yang lengkap.
Banyak juga yang kagum dengan wujud pura khas dengan ornamen Bali, orang – orang yang merasa penasaran dan tertarik untuk datang.
Namun sayangnya, banyak pengunjung yang tidak memahami etika, mengabaikan aturan kesopanan di area ibadah pura.
Seperti datang dengan mengenakan pakaian yang tidak pantas, bahkan tak sedikit yang membawa makanan, meninggalkan sampah di ruang spiritual yang suci.
Banyak dari mereka juga masuk tanpa izin, bahkan sampai ke Padmasana, bagian utama pura yang menjadi tempat paling suci.
Situasi ini memaksa pengelola dan pihak Lanud membuat kebijakan baru untuk memperketat akses, kini, Pura Jagatnatha hanya terbuka bagi umat Hindu yang datang untuk beribadah.
Apabila masyarakat umum ingin berkunjung untuk kepentingan budaya, edukasi atau jurnalistik, harus mengajukan surat izin resmi terlebih dahulu ke pihak Lanud.
Semua dilakukan demi menjaga kesucian dan kebersihan pura, yang bukan hanya sekadar bangunan, tetapi merupakan pusat spiritualitas yang harus dijaga dengan penuh penghormatan.
Baca Juga See Hin Kiong, Klenteng Tertua di Kota Padang
Simbol Toleransi yang Dipertahankan
Bagi umat Hindu di Sumatera barat, Pura Jagatnatha tidak hanya sekadar tempat ibadah, melainkan perwujudan eksistensi, simbol keberanian, ketekunan dan toleransi yang nyata.
Keberadaan Pura Jagatnatha memperkaya khazanah toleransi yang memang menjadi bagian dari budaya Minang itu sendiri.
Dibangun dengan penuh perjuangan dan kini berdiri teguh di jantung kawasan militer, pura ini menjadi bukti bahwa keberagaman itu tumbuh berkat penghormatan.
Pura Jagatnatha membuktikan bahwa keragaman bukanlah ancaman, melainkan mozaik indah dalam tatanan sosial.
Walaupun berbeda keyakinan dan budaya, penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual orang lain adalah fondasi dari kehidupan bersama yang damai.
Editor: Nanda Bismar