Festival Tabuik adalah salah satu tradisi unik yang dilaksanakan oleh masyarakat Pariaman, Sumatera Barat sekali dalam satu tahun.
Tradisi ini terkait dengan perayaan 10 Muharram, yaitu bulan pertama dalam kalender Islam.
Upacara tabuik dilaksanakan untuk memperingati tragedi terkenal, yaitu peristiwa perang Karbala yang terjadi pada tahun 680 Masehi.
Tradisi yang sudah ada semenjak abad ke -19 M ini, terus terjaga hingga saat sekarang di Kota Pariaman dan sekitarnya.
Tabuik sangatlah unik dan menarik karena melibatkan prosesi dan perayaan yang spektakuler.
Selain sebagai tradisi perayaan, tradisi tabuik juga dijadikan sebagai salah satu tujuan destinasi wisata budaya yang ada di Sumatra Barat. Berikut ulasan menariknya dari West Sumatra 360,
Sejarah Tabuik
Sejak puluhan tahun lalu, festival Tabuik telah menjadi tradisi yang berlangsung secara berkesinambungan, bahkan telah dilakukan sejak abad ke-19 Masehi.
Asal usul nama “Tabuik” merujuk pada bahasa Arab yaitu “tabut” yang berarti peti kayu.
Nama ini mengacu pada legenda setelah kematian cucu Nabi Muhammad, di mana muncul makhluk berkepala manusia berupa seekor kuda bersayap yang disebut Buraq.
Kemudian dilafalkan menjadi tabuik oleh orang pariaman karena akulturasi dengan bahasa Minangkabau.
Dalam legenda tersebut, peti kayu yang dibawa oleh Buraq disebut berisi jenazah Husain.
Hal ini juga yang dipraktikkan dalam festival Tabuik dengan adanya replika makhluk Buraq yang mengusung peti kayu atau “tabut” di atas punggungnya.
Mulanya tradisi ini muncul pada awal tahun 1826-1828 Masehi dan terpengaruh oleh kebudayaan Timur Tengah yang dibawa oleh para pendatang dari India yang menganut Syiah.
Kemudian pada tahun 1910, perayaan ini mengalami perubahan bentuk untuk disesuaikan dengan adat istiadat masyarakat Minangkabau.
Sejak saat itu, Festival Tabuik menjadi agenda tahunan dan menjadi wisata budaya paling ikonik di Kota Pariaman.
Baca Juga 6 Pantai Terbaik di Pariaman yang Wajib Dikunjungi
Jenis Tabuik
Awalnya, hanya ada satu jenis Tabuik yang disebut Tabuik Pasa. Namun, sekitar tahun 1915, sebagian masyarakat mengajukan agar ada Tabuik dalam bentuk lainnya.
Akhirnya, disepakati untuk membuat dua jenis Tabuik, satu di daerah Pasa yang dikenal sebagai Tabuik Pasa, dan satu lagi di seberang Sungai Pariaman yang dikenal sebagai Tabuik Subarang.
Tabuik Pasa berlokasi di sisi selatan sungai yang membelah kota hingga mencapai Pantai Gandoriah, sementara Tabuik Subarang terletak di seberang utara Sungai Pariaman dan dijuluki sebagai kampung Jawa karena penduduknya kebanyakan berasal dari tanah Jawa.
Walaupun ada perbedaan, tetapi keduanya tetap memiliki tujuan yang sama, yaitu menghormati arwah Husain bin Ali cucu Nabi Muhammad SAW.
Prosesi Upacara Tabuik
Tradisi Tabuik Pariaman diadakan setiap tahun dalam rangka mengenang peristiwa Asyura dalam tradisi Islam.
Perayaan ini melibatkan serangkaian tahapan yang melambangkan kematian dan pengorbanan Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.
Ada tujuh tahapan dalam proses pelaksanaan tradisi tabuik. Berikut adalah penjelasannya:
1. Maambiak tanah
Tahap pertama dimulai dengan pengambilan tanah dari tiga sumber yang dianggap suci, yaitu makam pendiri Kota Pariaman, makam datuk-datuk yang dihormati, serta makam saudara-saudara perempuan Imam Husain.
Tanah ini diambil sebagai simbolisasi dari tanah Karbala, tempat terjadinya Pertempuran Karbala yang berhubungan dengan peristiwa Asyura.
2. Manabang batang pisang
Tahap kedua adalah penebangan batang pisang, yang melambangkan pemenggalan kepala Imam Husain. Pisang dipilih karena bentuknya yang menyerupai kepala manusia.
3. Maatam
Tahap ketiga disebut sebagai “maatam” yang berarti meratap atau berduka pada 7 muharam.
Masyarakat memperlihatkan ekspresi kesedihan dan berduka cita melalui serangkaian ritual seperti menangis, meratap, dan mengenakan pakaian hitam.
Ini adalah ungkapan simbolis atas penderitaan dan pengorbanan Imam Husain dan pengikutnya.
4. Mangarak jari-jari
Pada tahap ini juga dilakukan pada 7 muharram, dilakukan prosesi membawa keranda kecil yang berisi potongan-potongan batang pisang yang melambangkan tubuh Imam Husain yang telah dimartirkan.
Keranda tersebut dibawa secara beriringan oleh beberapa orang yang melakukan tarian atau gerakan khas sambil menghentakkan jari-jari tangan mereka ke atas.
5. Mangarak sorban
Pada tanggal 8 Muharram, tahap kelima melibatkan prosesi mengusung sorban atau penutup kepala yang melambangkan sorban yang dikenakan oleh Imam Husain pada saat terjadi pertempuran.
Sorban ini dianggap sebagai simbol kepemimpinan dan perjuangan melawan kezaliman.
6. Tabuik nan pangkek
Tahap keenam adalah perayaan yang menggambarkan pemakaman Imam Husain. Tabuik nan pangkek adalah sebuah struktur berbentuk rumah atau gedung yang dibuat dari bambu, kayu, dan bahan-bahan lainnya.
Struktur ini didekorasi dengan indah dan diarak di sekitar kota Pariaman. Tabuik nan pangkek melambangkan makam Imam Husain yang diarak sebelum dimakamkan.
7. Hoyak tabuik dan membuang tabuik ke laut
Tahap terakhir dari rangkaian Tradisi Tabuik Pariaman adalah saat Hoyak Tabuik pada 10 Muharram.
Tabuik, yang sebelumnya telah diarak di sekitar kota, dibawa ke pantai oleh masyarakat.
Di pantai, Tabuik dihancurkan atau dijatuhkan ke laut sebagai simbol pemakaman Imam Husain sekaligus melambangkan perjalanan terakhir Imam Husain setelah terbunuh di medan pertempuran.
Adapun tujuh rangkaian diatas dengan berbagai tahapan memiliki makna simbolis dan menggambarkan kisah penderitaan dan pengorbanan Imam Husain dalam Pertempuran Karbala.
Tradisi Tabuik Pariaman juga menjadi ajang untuk mengingat peristiwa tersebut dan menjaga warisan budaya yang khas di wilayah Pariaman.
Musik pengiring dalam upacara adat ini juga menggunakan alat musik yang dikenal sebagai gandang tabuik atau gandang tasa.
Gandang ini digunakan secara kontinue untuk mengiringi acara yang berlangsung dari tanggal 1 sampai 10 Muharam.
Setiap kali acara dimulai, gandang tabuik atau gandang tasa akan terus-menerus ditabuh.
Setelah prosesi pengarakan berakhir, Tabuik dihanyutkan ke laut sebagai simbol pengorbanan dan kesedihan atas peristiwa perang Karbala.
Ritual ini dilakukan dengan penuh kehormatan oleh masyarakat sambil berdoa dan mengucapkan salawat untuk menghormati dan mengenang Imam Husain.
Tradisi Tabuik bukan hanya sebagai perayaan, tetapi juga sebagai sarana untuk mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan masyarakat Minangkabau khusunya yang berada di Kota Pariaman.
Masyarakat berkumpul, berbagi cerita dan saling membantu dalam persiapan dan pelaksanaan Tabuik.
Tradisi ini juga menarik perhatian wisatawan dari dalam dan luar negeri yang datang khusus untuk menyaksikan beragam acara festival dan keunikan perayaan ini.
Semoga ulasan mengenai festival tabuik diatas semakin menambah wawasan wisata budaya kamu ya, tunggu informasi menarik lainnya seputar Sumatera Barat hanya di West Sumatra 360!