Lembah Harau yang memesona dengan tebing-tebing granit menjulang dan sawah-sawah hijau membentang, ternyata menyimpan kekayaan kuliner yang unik.
Salah satu warisan kulinernya adalah “Randang Daun”, yaitu sajian khas yang tidak hanya menggugah selera, tetapi juga sarat dengan nilai kearifan lokal, tradisi, dan hubungan harmonis manusia dengan alam.
Jika selama ini rendang dikenal sebagai masakan daging kaya rempah yang dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia, maka justru randang daun terbuat dari bahan dasar tumbuhan liar.
Aneka tumbuhan liar tersebut bisa ditemukan di hutan dan perbukitan sekitar Harau, jadi bukan hanya sekedar warisan kuliner tetapi juga aplikasi dari slogan orang Minang, “alam takambang jadi guru”.
Dimana alam mengajarkan manusia cara bertahan hidup dengan menciptakan pangan dari sumber daya yang tersedia di sekitarnya.
Kuliner yang Tumbuh dari Hutan
Randang daun bukanlah hidangan yang muncul dari dapur mewah, melainkan dari pengetahuan turun-temurun para perempuan dan petani lokal di Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Masyarakat setempat telah lama mengenal berbagai jenis sayur hutan atau tanaman liar yang ternyata memiliki rasa dan manfaat luar biasa.
Salah satunya adalah “Daun Akar”, begitu masyarakat lokal Tarantang – Harau menyebutnya dalam Bahasa lokal daerah setempat.
Beberapa jenis tumbuhan lainnya yang juga umum digunakan dan dimasak menjadi randang daun, seperti Daun Surian dan Daun Paku (Pakis).
Terkadang juga dicampur dengan rebung muda, namun daun akar tetap menjadi bahan utama untuk pembuatan randang daun yang dilabeli dengan “Raun Si Bancah”.
Bumbu dan cara pengolahan cukup sederhana, dimana pertama tentu saja daun diolah bersama santan kental, cabai giling, bawang, lengkuas, dan rempah-rempah lokal.
Proses memasaknya pun seperti rendang pada umumnya, perlahan dan penuh kesabaran, hingga semua air menyusut dan menyisakan cita rasa gurih pedas yang meresap sempurna ke dalam dedaunan.

Cita Rasa Randang Daun
Jika kamu pertama kali mencicipi randang daun, jangan berharap rasanya sama seperti rendang daging pada umumnya.
Tekstur daun yang empuk, dipadu rasa gurih santan dan pedas rempah, menciptakan sensasi unik yang “liar” namun bersahabat di lidah, terdapat aroma tropis yang khas.
Menariknya, randang daun juga dapat bertahan cukup lama hingga dua minggu dalam suhu ruangan, bahkan tanpa bahan pengawet.
Apabila disimpan di dalam lemari pendingin, maka daya tahan akan lebih lama lagi, oleh sebab itu belakangan ini randang daun dijadikan sebagai oleh-oleh khas dari Harau.

Menjadi Oleh-Oleh Khas Harau
Dahulunya randang daun hanya dikenal sebagai lauk rumahan atau bekal untuk ke sawah atau ladang, namun belakangan dijadikan sebagai oleh-oleh khas dari Harau.
Hal ini karena semangat pelestarian budaya dan pemberdayaan ekonomi lokal, komunitas perempuan adat dan kelompok tani hutan di Harau mulai memproduksi randang daun secara massal.
Salah satunya adalah Randang Daun (RAUN) si Bancah, yaitu unit usaha dari kelompok pengelola Perhutanan Sosial Maju Basamo, di Nagari Tarantang – Harau.
Dengan tetap mempertahankan proses tradisional dan bahan-bahan organik dari kawasan perhutanan sosial, mereka mengemas randang daun ke dalam kemasan praktis tanpa menghilangkan nuansa lokalnya.
Rasa dari setiap gigitan randang daun seperti membawa masuk ke semak belukar Harau, merasakan kesegaran daun yang dipetik pagi hari.
Baca Juga Rendang Rendezvous: 8 Jenis Rendang yang Harus Dicoba
Filosofi Randang Daun
Randang daun bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang resiliensi, keberlanjutan, dan pengetahuan lokal.
Ditengah tantangan pangan, perubahan iklim, dan hilangnya biodiversitas, makanan seperti ini menjadi satu solusi pangan yang menunjukkan bahwa:
- Menghidupkan kembali tanaman lokal dan liar sebagai sumber pangan alternatif.
- Mendorong ekonomi lokal tanpa merusak alam, dengan mengolah hasil hutan bukan kayu.
- Melestarikan tradisi sambil berinovasi dalam bentuk pemasaran dan pengemasan.
Fakta menariknya, sebagian besar daun-daunan yang digunakan dalam randang daun belum dibudidayakan secara luas.
Artinya, keberadaan tanaman tersebut masih sangat bergantung pada kondisi hutan, oleh karena itu mengonsumsi randang daun juga berarti ikut mendukung konservasi hutan alam.
Wisata Kuliner, Sekaligus Menjaga Alam.
Bagi kamu yang berencana mengunjungi Harau, jangan lewatkan kesempatan untuk mencicipi dan membawa pulang randang daun.
Kamu juga bisa mengikuti kelas memasak tradisional yang kini mulai dikembangkan sebagai bagian dari paket ekowisata dan agrowisata berbasis budaya yang dikembangkan HkM Maju Basamo.
Bayangkan—setelah treking menyusuri air terjun sarasah, kamu duduk di dapur tradisional beratap rumbia, menggiling cabai dengan batu.
Kemudian mencampur daun liar yang baru dipetik dari tepi ladang, dan menyaksikan randang daun menghitam perlahan di atas tungku kayu.
Jadi kalau kamu suka eksplorasi kuliner lokal yang tidak biasa, Randang Daun dari Harau jelas layak jadi petualangan rasa berikutnya.
Editor: Nanda Bismar