Masyarakat Minangkabau masa lampau memiliki banyak tradisi yang mampu bertahan hingga bertahun-tahun lamanya, berbagai tradisi yang ada memiliki tujuan dan nilainya masing-masing.
Seperti tradisi Lalok di Surau yang pada masanya dilakukan oleh para lelaki muda minang yang mulai beranjak dewasa.
Lalok di Surau maksudnya adalah menginap di Surau semalaman, namun tidak hanya sekedar tidur dari malam hingga pagi hari, melainkan terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan.
Lalu bagaimana tradisi tersebut bermula, berkembang hingga mulai menghilang saat ini, West Sumatra 360 telah menyiapkan ulasan menarik berikut ini,
Filosofi Surau
Beberapa sumber menyebutkan istilah surau telah lama muncul kalangan masyarakat Minangkabau, bahkan sebelum ajaran Islam masuk dan menjadi agama orang Minang.
Surau pada zaman sebelum masuk islam merupakan bangunan yang menjadi pusat kegiatan belajar, menimba ilmu kerohanian bagi anak laki-laki minang yang beranjak dewasa atau akil baligh.
Bahkan sejak kedatangan agama Islam, fungsi Surau tidak berubah, masih menjalankan fungsi yang sama, hanya saja berubah menjadi tempat melaksanakan ibadah sholat dan memperdalam ajaran Islam tentunya.
Atas dasar bentuk dan ukuran bangunan Surau, masyarakat membedakan dan memberi nama yaitu surau kaciak (kecil), Surau Tangah (sedang) dan Surau Gadang (besar), dengan penjelasan sebagai berikut:
- Surau Kaciak dapat menampung hingga 20 orang murid yang biasanya dikenal sebagai surau mengaji, belajar Al-Qur’an dan melaksanakan ibadah sholat. Biasanya surau kaciak memiliki seorang guru yang sekaligus sebagai imam di surau tersebut.
- Surau Tangah dapat menampung hingga 80 orang murid dan sengaja didirikan untuk tempat pendidikan keagamaan yang lebih luas, tidak hanya sebagai tempat ibadah tetapi juga pusat pendidikan ajaran agama Islam.
- Surau Gadang biasanya mampu menampung hingga lebih dari 100 lebih orang murid, dimana biasanya surau gadang dijadikan sebagai pusat surau-surau kaciak dan tangah dengan daya tampung yang lebih besar dan luas. Surau Gadang biasanya menyelenggarakan pengajian secara berkala oleh seorang syekh yang muridnya ialah guru-guru besar surau kaciak dan tangah. Pemberian nama surau gadang biasanya dinisbatkan oleh nama syekh yang mengurus surau tersebut atau nama tempat surau tersebut didirikan.
Baca Juga Asmara Subuh, Tradisi Berkumpul Remaja di Bulan Ramadan
Berikut adalah contoh nama surau berdasarkan tempat didirikanya seperti Surau Taram, Surau Koto Tuo, Surau Pasir, Surau Laboh (Tanah Datar), Surau Padang Gantiang dan lainya.
Kemudian contoh surau dengan nama Syekh yaitu Surau Syekh Abdullah Khatib Lawas Bukittinggi, Surau Syekh Muhammad Jamil Tungkar, Surau Syekh Tuanku Kolok (Syekh Muhammad Ali) di Sungayang, Surau Syekh Abdul Manan (Tuanku Talao) dan lainnya.
Budaya Lalok di Surau
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa budaya lalok di surau biasanya dilakukan oleh anak laki-laki Minang yang telah beranjak dewasa.
Dimana orang tua dari anak tersebut biasanya akan melepas anaknya ke surau untuk belajar agama dan beribadah.
Tradisi lalok di surau dalam penerapannya masa itu tidak hanya untuk belajar agama dan beribadah, melainkan juga mendalami berbagai ilmu fiqih, belajar menjadi imam hingga surau sebagai tempat belajar bela diri silek Minang.
Surau dipilih sebagai tempat menginap bukan tanpa alasan, hal ini sangat berkaitan dengan budaya orang Minangkabau, dimana Rumah Gadang tidak terdapat kamar untuk laki-laki melainkan hanya untuk anak perempuan.
Oleh karena itu anak laki-laki harus mencari tempat untuk beristirahat pada malam hari. Nilai lain adalah orang tua di Minang ingin mengajarkan kemandirian kepada anak laki-laki sejak dini, juga mengajarkan untuk menjadi pemimpin apabila telah dewasa nantinya.
Filosofi yang lain berkaitan dengan agama islam, dimana surau dianggap sebagai tempat yang suci, religius dan penuh sopan santun ajaran baik.
Dengan nilai-nilai yang terkandung diharapkan para lelaki muda Minang tetap menjadi pribadi yang taat kepada ajaran agama Islam dengan bekal dari usia muda.
Sedangkan gengsi juga mempengaruhi budaya lalok di surau pada masanya, dimana anak lelaki yang tidak lalok di surau akan “diledek” oleh keluarga maupun temannya sendiri.
Laki-laki muda yang tidak lalok di surau dianggap sebagai anak yang manja dan tidak bisa bersosialisasi.
Ditambah lagi surau bagi orang Minang sangat penting, selain sebagai pusat keagamaan juga menjadi pusat penyebaran informasi ke seluruh negeri, pusat ajaran kebudayaan sehingga menjadikan surau sangat sakral bagi orang Minang.
Begitulah peranan surau bagi masyarakat Minang pada masanya, hingga saat ini pun masih terdapat beberapa surau yang masih memiliki peran sentral dalam suatu nagari di Sumatera Barat.
Walaupun tidak semarak seperti masa jayanya dan banyak menjadi tempat ibadah wajib, surau tetap menjadi tempat yang monumental bagi orang Minangkabau, setidaknya pernah memberikan peranan bagi perkembangan agama islam dan budaya Minang pada masanya.
Jangan lupa berikan komentar kamu atas ulasan ini atau kamu bisa memberikan saran kepada kami mengenai budaya Minangkabau lain yang ingin kamu ketahui. Terus ikuti West Sumatra 360 yaa!