Diantara semaraknya pesta pernikahan adat Minangkabau, terdapat satu tradisi yang tetap hidup dan dilestarikan di wilayah Padang Pariaman yaitu tradisi “juadah.”
Juadah bukan sekadar antaran makanan biasa, melainkan simbol penghormatan, kasih sayang, dan kesungguhan dari pihak keluarga pengantin perempuan.
Menjadi bagian penting dari rangkaian adat perkawinan yang memperlihatkan kekayaan budaya lokal, nilai gotong royong, dan nilai estetika kuliner Minang.
Untuk mengetahui lebih lanjut makna dan bagaimana tradisi ini dilakukan, berikut adalah ulasan menariknya dari tim West Sumatra 360.
Iringan Juadah
Sebelum pesta pernikahan digelar, sekelompok orang dari rumah calon pengantin perempuan menuju rumah calon pengantin laki-laki sambil membawa juadah.
Antaran tersebut disusun dalam talam-talam besar yang ditata rapi dan bertingkat.
Beberapa orang membawanya dengan berjalan kaki, menggunakan becak hias, bahkan diiringi oleh pemuda yang memukul talam sebagai bagian dari prosesi adat.
Juadah nantinya akan menjadi pelengkap sajian di pesta perkawinan di rumah mempelai pria.
Maknanya melambangkan penghormatan kepada keluarga calon suami, sekaligus menjadi simbol keterlibatan komunitas dalam menyukseskan pernikahan anak daro.

Tujuh Tingkat Kelezatan dalam Satu Talam
Juadah umumnya terdiri dari tujuh tingkat, dengan setiap tingkat diisi oleh berbagai jenis penganan tradisional khas Padang Pariaman.
Susunannya pun bukan sembarangan, melainkan menunjukkan kekayaan rasa dan kearifan kuliner lokal.
Bagian paling atas biasanya diisi oleh kue bolu, sebagai representasi rasa manis dan kebahagiaan dalam kehidupan baru pasangan pengantin.
Di bawahnya, berturut-turut disusun berbagai jenis kue dan camilan tradisional, seperti:
- Bubik, sejenis kue basah yang terbuat dari tepung dan santan.
- Pinyaram, camilan yang digoreng dari campuran gula aren dan tepung beras.
- Juadah tukua, jajanan kenyal yang terbuat dari ketan dan memiliki rasa gurih.
- Jala bio, mirip jala-jala yang digoreng kering, bentuknya unik dan renyah.
- Kue sangko, kue legit yang dibuat dari campuran kelapa parut dan gula merah.
- Kipang, camilan dari ketan goreng yang dipadatkan dan dilapisi gula karamel.
- Nasi manis atau Nasi Haru, mirip dengan wajik, terbuat dari ketan yang dikukus dan dimasak bersama santan serta gula merah.
- Kanji, bubur manis yang biasanya terbuat dari tepung beras atau tepung sagu.
Semua penganan diatas biasanya dipotong kecil-kecil saat disajikan, mirip seperti jajanan pasar, agar mudah disantap oleh para tamu undangan.
Baca Juga Mengenal Tradisi Arak Bako Dalam Prosesi Pernikahan di Minangkabau
Bahan Umumnya Pokok Berupa Ketan
Sebagian besar juadah menggunakan bahan dasar beras dan beras ketan, yang menjadi ciri khas masakan Minang dalam acara adat.
Tidak hanya memberikan tekstur khas dan rasa gurih legit yang nikmat, tapi juga sarat makna yang melambangkan keterikatan dan kesatuan dalam rumah tangga.
Salah satu contoh olahan ketan yang terkenal dalam juadah adalah nasi manis.
Proses pembuatannya pun cukup rumit, dimana awalnya beras ketan dikukus hingga matang.
Kemudian dimasak dalam kuali besar bersama campuran santan dan gula merah hingga berminyak.
Setelah itu, adonan dikeringkan dan dipadatkan ke dalam cetakan kayu, lalu dipotong-potong sesuai ukuran.
Hasilnya adalah potongan nasi manis yang legit dan tahan lama, sangat cocok untuk disajikan di acara besar seperti pernikahan.

Perayaan di Festival Juadah
Tradisi juadah yang kaya bahkan telah diangkat ke panggung yang lebih luas dalam bentuk Festival Juadah.
Acara ini diselenggarakan setiap tahun untuk melestarikan budaya antaran pengantin khas Padang Pariaman.
Pada tahun 2025, festival akan diadakan di Nagari Toboh Gadang Barat, Kecamatan Sintuk Toboh Gadang, dan diperkirakan akan menarik perhatian masyarakat luas.
Dalam festival Juadah, berbagai kreasi juadah ditampilkan oleh masyarakat dari berbagai nagari.
Mereka saling beradu kreativitas dalam menyusun talam, menciptakan variasi rasa, dan menonjolkan keindahan tampilan.
Festival ini menjadi bukti bahwa juadah bukan hanya tradisi turun-temurun, tapi juga bagian dari identitas budaya yang masih hidup dan berkembang.
Bagi generasi muda, mengenal dan melestarikan tradisi juadah bukan hanya soal menjaga adat, tapi juga merayakan jati diri kebudayaan Minangkabau.
Maka tidak heran jika di setiap pesta pernikahan di Padang Pariaman, kehadiran juadah selalu ditunggu.
Bukan hanya karena rasanya yang lezat, tapi juga karena nilai budaya dan kebersamaan yang terkandung di dalamnya.
Editor: Nanda Bismar