Jorong Sitingkai, sebuah nagari kecil di Kecamatan Palupuah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, hari raya kurban tidak hanya tentang ritual ibadah dan distribusi daging kurban.
Ternyata, menyimpan sebuah tradisi unik yang sarat nilai kebersamaan, kearifan lokal, dan semangat gotong royong yang disebut dengan “Manampuang Dagiang”.
Tradisi ini tidak hanya sekadar praktik membagikan daging saja, melainkan sebuah upacara adat yang sarat dengan makna dan filosofi.
Melalui tulisan berikut, West Sumatra 360 akan mengulas makna dari tradisi manampuang dagiang Jorong Sitingkai.
Mulai dari sejarah, tata laksana, simbolisme budaya, hingga bagaimana masyarakat Sitingkai berupaya menjaga tradisi ini tetap hidup ditengah arus modernisasi.
Makna “Manampuang Dagiang” dalam Perspektif Lokal
Kata manampuang dagiang berasal dari bahasa Minangkabau: manampuang berarti menampung.
Bisa juga dimaknai sebagai sebuah aktivitas menyusun atau menyajikan, sementara dagiang berarti daging.
Sehingga secara harfiah istilah “Manampuang Dagiang” dapat dimaknai dengan menyusun atau menghidangkan daging untuk kemudian dibagikan kepada warga.
Dalam konteks perayaan Idul Adha, tradisi ini bisa dimaknai sebagai prosesi pemotongan hewan dan pembagian daging di kalangan masyarakat Jorong Sitingkai, Sumatera Barat.
Sementara dalam konteks budaya masyarakat Sitingkai, bukan sekadar soal distribusi daging, melainkan proses kolektif yang melibatkan hampir seluruh warga jorong.
Daging kurban yang diperoleh dari sapi atau kambing tersebut, tidak dibagikan kepada warga melalui sistem pendistribusian kupon seperti pada umumnya.
Saat pendistribusian daging tiba, warga akan berbaris rapi di kanan – kiri jalan desa menanti jatah daging, bahka panjang antrian bisa mencapai ratusan meter.
Tradisi ini menjadi simbol kepedulian dan pemerataan sosial, tidak ada yang merasa lebih, tidak ada yang merasa kurang, semua mendapat bagian yang sama.
Karena pembagian daging bukan dihitung berdasarkan jumlah kepala keluarga, melainkan berdasarkan jumlah jiwa yang ada dalam satu Kepala Keluarga.
Sehingga semua merasa dihargai, yang merupakan inti dari “rasa, raso, dan relasi” dalam kearifan Minangkabau: perasaan kolektif yang memelihara relasi sosial melalui praktik budaya.

Asal-usul Tradisi Manampuang Dagiang
Tradisi kuno ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya di Sitingkai, tidak diketahui persis kapan pertama kali sistem ini dilakukan.
Menurut cerita tetua adat Sitingkai, tradisi ini telah berlangsung lebih dari enam generasi, dimana daging kurban harus diangkut dengan gotong royong.
Masyarakat menyadari bahwa distribusi daging secara langsung bisa menimbulkan kecemburuan sosial.
Maka, para ninik mamak (tetua adat) berembuk dan memutuskan bahwa seluruh daging kurban yang diperoleh dari warga atau perantau akan dikumpulkan.
Kemudian dicacah bersama, dan dibagikan secara merata sesuai jumlah warga yang ada, termasuk janda, duda, dan anak yatim.
Lambat laun, proses ini berkembang, selain dibagi, sebagian daging juga diolah menjadi gulai atau rendang, lalu disantap bersama di halaman masjid atau rumah gadang.
Baca Juga 5 Tradisi Unik Hari Raya Idul Adha di Sumatera Barat
Proses Pelaksanaan: Rinci, Rapi, dan Rasa
Pelaksanaan tradisi manampuang dagiang diawali sejak pagi hari setelah salat Idul Adha, kemudian hewan kurban disembelih, seluruh daging dikumpulkan di satu titik.
Biasanya di pelataran masjid atau di rumah tokoh adat, lalu para pemuda bertugas mencacah daging, sementara ibu-ibu menyiapkan bumbu, daun pisang, dan peralatan memasak.
Salah satu hal yang menarik adalah adanya sistem takaran adat, daging tidak ditimbang dengan timbangan modern.
Tetapi dibagi berdasarkan cupak, talam, dan tungkek, yaitu ukuran lokal yang berdasarkan pada kesepakatan jumlah suku, kaum, dan kebutuhan keluarga.
Cara ini terbukti efektif dan adil selama bertahun-tahun, karena mengandalkan rasa keadilan sosial yang telah mengakar kuat.
Dalam satu keluarga besar, daging bisa dibagi berdasarkan jumlah anak atau tanggungan.
Menariknya, jika satu keluarga memiliki anak yang merantau dan diperkirakan tidak pulang, maka dagingnya bisa disisihkan untuk masyarakat yang lebih membutuhkan.
Maka tidak jarang juga ada yang menyumbangkan seluruh bagian dagingnya untuk dimasak bersama dan disantap dalam jamuan bajamba (tradisi makan Bersama)
Nilai Filosofis Tradisi Manampuang Dagiang
Tradisi manampuang dagiang menyimpan filosofi yang dalam dalam masyarakat Minangkabau di Sitingkai, diantaranya adalah:
1. Keadilan Sosial (Adil Saro)
Tidak ada yang lebih dulu mendapat, semua dihitung dengan kesetaraan,keluarga yang kaya dan miskin, tua dan muda, semua mendapat bagian yang proporsional.
2. Kolektivisme (Basamo Mangko Manjadi)
Segala sesuatu dilakukan secara bersama–sama, mulai dari menyembelih, memilah, hingga membagikan.
3. Pelestarian Rasa (Raso jo Pareso)
Pembagian daging berdasarkan “rasa” dan pertimbangan sosial, bukan hitungan angka semata, rasa yang tumbuh dari pengalaman, empati, dan kearifan lokal.
4. Kesinambungan Antar Generasi
Tradisi ini menjadi ruang belajar bagi generasi muda untuk memahami nilai-nilai budaya, solidaritas, dan pentingnya peran dalam komunitas.
Dukungan Perantau dan Solidaritas Diaspora
Menariknya, pelaksanaan manampuang dagiang di Sitingkai juga mendapat dukungan besar dari para perantau.
Banyak warga asli Sitingkai yang merantau ke kota besar, setiap menjelang Idul Adha, secara kolektif mengirimkan dana untuk membeli hewan kurban atas nama kelompok perantau.
Dana yang diberi tidak hanya untuk membeli hewan kurban, tetapi juga untuk mendukung operasional tradisi.
Seperti membeli media untuk membagikan daging, wadah atau kantong yang terbuat dari bambu, dan lainnya.
Hal ini menjadi bentuk nyata dari sistem sosial rantau–pulang, dimana orang Minang yang merantau tetap terhubung dengan kampung halamannya melalui bentuk kepedulian nyata.
Transformasi dan Tantangan Hari Ini
Seiring berjalannya waktu, tradisi manampuang dagiang juga mengalami perubahan, masuknya teknologi dengan adanya pergeseran nilai-nilai.
Kehidupan modern perlahan mulai memengaruhi partisipasi masyarakat, terutama generasi muda.
Anak muda mulai enggan terlibat karena menganggapnya melelahkan atau ketinggalan zaman.
Namun, upaya pelestarian tetap dilakukan oleh tokoh adat dan pemuda lokal, tahun-tahun terakhir, kegiatan mulai dikemas dalam bentuk atraksi budaya agar menarik untuk dikunjungi.
Upaya ini tidak hanya menyegarkan tradisi, tetapi juga menjadi cara untuk menumbuhkan rasa bangga terhadap warisan budaya.
Harapannya, tentu saja dapat menjadi destinasi baru bagi wisatawan yang menyukai trip bermuatan budaya.
Lebih jauh lagi, kelompok pemuda seperti Karang Taruna dan Bundo Kanduang di Sitingkai mulai mendokumentasikan proses manampuang dagiang dalam kemasan media sosial yang menarik.
Mereka ingin agar tradisi ini tidak hanya bertahan di lumbung ingatan kolektif, tetapi juga dikenal luas dan menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat lain.
Warisan yang Menjaga Kehidupan Sosial
Tradisi manampuang dagiang di Jorong Sitingkai adalah bukti nyata bahwa budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi juga jembatan yang menghubungkan manusia dengan sesamanya.
Ditengah dunia yang semakin individualistik, praktik kolektif seperti ini menjadi oase: menumbuhkan empati, menyuburkan rasa saling percaya, dan memperkuat struktur sosial.
Ketika daging dibagi bukan berdasarkan kuasa, tetapi rasa, lalu masakan disantap bukan untuk kenyang sendiri, tetapi untuk mengenyangkan bersama.
Seperti kata para tetua di Sitingkai:
“Dagiang nan dibagi indak abih, tapi raso nan dibagi manambah kasih.”
(Daging yang dibagi tidak membuat habis, tapi rasa yang dibagi menambah kasih sayang)
Editor: Nanda Bismar